Perempuan itu menatap dirinya di cermin, merapikan riasan di wajahnya yang menirus. Tampak jelas ia sudah kehilangan sekian kilogram berat badannya, meninggalkan rangka yang semakin tegas dan pipi yang tak lagi menggemaskan. Ia masih fokus memermak lingkaran hitam di sekitar matanya, jejak dari malam yang terjaga dan tangis tanpa suara.
Wajah yang mengerikan, berbeda tipis dengan pemeran hantu atau mayat bangkit dalam film-film horor.
Ia memulas ulang bibirnya mencoba memberikan kehidupan melalui warna. Merah bata. Lalu tersenyum di depan cermin. Sekali. Dua kali. Seperti presenter televisi yang berlatih sebelum tampil. Gagal. Lagi-lagi mukanya lebih mirip bintang suster ngesot atau hantu bangku kosong. Atau mungkin, rintihan kuntilanak perawan.
Muka perempuan di depan cermin itu, mukaku.
Dan aku ada janji meeting dengan klien siang ini. Duh. Klien yang malang.
Apa daya, pertunjukan mesti terus berjalan.
“Mbak Maya, apakabar? Makin cantik saja sih,” sapa lelaki muda berkarir cerah yang menjabat head of Public Relation Division di perusahaan yang menjadi klien kami.
Menghibur, menyindir, atau berbasa-basi?
“Tapi kok kelihatan capek sekali ya?” ujarnya lagi.
Ia terdengar tulus,kok.
“Oiya ya? Ah mungkin agak kurang tidur aja,” sahutku sambil memasang senyum andalan. Halah.
“Jadi Mbak, tentang rencana event peluncuran produk baru itu bagaimana?“
Aku langsung membuka laptop dan berkas-berkas yang kubawa. Nada bicaraku berapi-api, kompensasi yang kusengaja untuk mengimbangi muka capek yang kurang jelas bentuknya ini.
“Jadi tak hanya peluncuran produk, sekaligus juga menunjukkan kepedulian perusahaan kepada korban bencana. Ini justru bisa mengundang liputan media lebih besar,” lanjutku sambil mulai menjelaskan materi power point yang sudah terpampang di layar.
Diskusi berlanjut, menyerap pikiran dan energiku sepenuhnya pada pertemuan ini. Fokusku teralih sepenuhnya selama 2 jam meeting membicarakan konsep hingga teknis penyelenggaraan event secara detail..
Selamat. Aku berhasil melalui meeting ini dengan lancar dengan mukaku yang kurasa mirip Sadako di film Ring. Klienku sudah pamit karena ada meeting sore di kantornya, sementara aku belum beranjak karena masih mengirimkan beberapa email dulu.
Sebuah lagu mengalun mengisi ruang cafe. Love song for a vampire dari Annie Lennox. Lagu yang memanggil segenap kenangan.
Itu lagu aku buat kamu..
Ada bening yang mengalir di pipiku, tanpa ijin, tanpa permisi, tanpa basa-basi. Aku baru tahu kalau air mata ternyata mirip jalengkung yang suka datang tak diundang.
Ya ampun, menangis sendirian di cafe. Benar-benar kelakuan ABG labil. Memangnya aku ini kelas dua SMP ya? Betul-betul memalukan. Tapi air mataku terus saja mengalir tanpa bisa direm. Sial.
Ponselku berbunyi. Damn. Ingin rasanya tidak mengangkat. Tapi ini dari wartawan di sebuah media besar. Dan untuk konsultan PR seperti aku, relasi dengan media tentu saja super penting. Tak ayal kuangkat juga telpon itu, sembari susah payah menyamarkan suara bindeng dan serak.
“Iya nih Mas, lagi flu, cuacanya kan akhir-akhir ini begini.”
Pembohong yang payah. Tapi aku tetap paksakan tersenyum sungguhan sambil menjawab telponnya, meyakini bahwa senyum itu bisa ‘terdengar’ oleh lawan bicara di seberang sana. Pembicaraan tak berlangsung lama. Dia hanya mengonfirmasi jadwal wawancara narasumber yang adalah klienku.
Sisa air mata itu masih berjejak di pipiku. Mengering. Aku tidak begitu peduli riasanku yang luntur. Tadi meeting terakhirku dan aku akan pulang sebentar lagi. Aku melambaikan tangan pada pelayan cafe, meminta bill. Sambil menunggu aku berbenah-benah perlengkapan.
Mas pelayan lain yang datang menghampiriku.
“Sudah Mas?”
Dia malah menyodorkan beberapa lembar tisu.
“Lho ini apa?”
“Dari cowok yang itu Mbak,” jawabnya takut-takut.
Aku membuka lipatan lembaran-lembaran tisu itu.
081355*****
Call Me
HEH? Aku mendelik
“Siapa sih Mas? “ tanyaku penasaran pada Mas yang tadi bertugas sebagai kurir. Ia sudah berjarak sepuluh kaki dariku.
‘Yang itu Mbak..” Dia menunjuk dengan gerakan tanggung-tanggung sambil tetap menjauh.
“Mana?” tanyaku lebih keras. Selintas orang bisa mengira nih cewek kayak mau ngajak berantem.
“Itu,” tunjuk si Mas kurir.
Dia menunjuk seorang pria bertubuh gempal berkemeja batik lengan pendek. Yang ditunjuk malah pura-pura sibuk dengan laptopnya. Ternyata jaraknya cukup dekat, hanya sekitar 2 meja.
Aku meremas tisu. Tidak berminat. Selesai berberes-beres dan mengambil uang kembalian aku langsung berlalu keluar dari cafe itu.
Dugaanku, si pria pengirim tisu itu melihat aku yang sempat menangis.
Do I look that desperate? Sampai dikasih-kasih nomer telpon segala. Sudah itu dia pura-pura nggak lihat lagi. Dasar pria jaman sekarang, nggak punya manner. Aku merutuk-rutuk dalam hati.
Yah, mungkin dalam keadaan nelangsa begini pun aku masih kelihatan menarik. Bukankah itu tadi yang dibilang klienku? Anggap saja benar. Ge-er tak akan berakibat fatal ini.
Aku memanggil taksi biru pertama yang lewat. Menyebutkan arah tujuan, lalu menyandarkan kepala di jok. Aku memejamkan mata. Lamat-lamat terdengar suara radio di taksi memutar suara Whitney Houston di masa keemasannya.
Didn’t we almost have it all? When love was all we had worth giving?
Oh, kenapa harus lagu ini? Dunia seolah sedang berkonspirasi untuk mengingatkanku kepadanya.
Lagu itu adalah lagu yang aku tujukan untuknya. Lelaki itu, teman baikku selama nyaris 12 tahun, dan kekasihku selama hampir 2 tahun. Kami semestinya bisa menjadi teman hidup yang sempurna. Kami memiliki cinta, kesediaan untuk berubah demi satu sama lain, dan komitmen untuk tumbuh bersama. Hanya satu jurang yang tak mampu kami seberangi.
“Kamu sih nggak mau kurangin nabi ..” begitu canda yang kerap ia lontarkan kepadaku.
“Kenapa bukan kamu aja yang nambah?”
“Yang sekarang ada aja udah ribet, tambah satu lagi? Nggak ah,” sahutnya.
Aku terkekeh lalu menggelendot manja di lengannya.
“Kenapa susah, kita tambahkan saja daftar nabi lagi. Mirza Ghulam Ahmad nabinya Ahmadiyah, atau kalau perlu sekalian dengan Lia Aminuddin.”
Dia tertawa, lalu mengecup dahiku. “Aku nggak masalah Nabi apa aja selama masih bisa makan yang enak-enak..”
Aku tersenyum. Hapal betul kegemarannya menyantap daging yang diharamkan untukku sejak lahir. Kukecup pipinya dengan sayang.
“Aku nggak masalah anakku jadi Muslim,” Ia mengacak rambutku. “asal aku yang pilihin guru ngajinya..”
Kami hampir memiliki segalanya. Tapi ‘hampir’ tak akan pernah masuk hitungan.
Air mata kembali datang tiba-tiba. Seperti jalengkung.
****
Sampai hari ini peristiwa dua minggu yang lalu itu masih terputar ulang di kepalaku. Kadang dalam gerakan lambat, kadang dengan warna hitam putih.
Adegan perpisahan kami.
“Waktu kita yang sementara ini sudah waktunya berakhir,” ujar Yudha dengan raut tenang. Iayang kukenal memang seorang pemikir, selamanya menomorsatukan logika daripada perasaan. Kepiawaiannya mengendalikan emosi dan ekspresi membuatku pernah meledeknya sebagai pembunuh berdarah dingin.
Dan malam ini, raut wajahnya persis seperti itu. Tenang, poker face. Datar. Ya, dia persis pembunuh berdarah dingin yang sedang menjalankan misinya: Mematikan hubungan kami.
“Kenapa mesti sekarang?” tanyaku tak rela. Airmata sudah membanjiri wajahku.
“Malam ini nggak ada bedanya dengan malam-malam berikutnya.”
“Kalau nggak ada bedanya, kenapa harus sekarang?”
Negosiasi yang sia-sia. Tapi setidaknya aku berusaha.
“Apakah ini karena dia? “ tanyaku. Parau.
“Bukan.bukan karena dia. ”
Benarkah? Hatiku masih tak percaya. Tapi apa bedanya, karena dia atau bukan karena dia, bukankah kami toh tak akan bersama juga?
“Makasih ya buat semuanya, “ ujarnya.
Sungguh, aku tidak tahan dengan ritual perpisahan ini berikut ucapan-ucapan standarnya.’ Terimakasih’ yang diucapkan di akhir sebuah kisah, sama dengan kata tamat. ‘Terimakasih’ karena setelah ini tak ada lagi cerita. Tak ada lagi kita.Dan setelah ini pasti ‘maaf’
“Maafin ya…” ucapannya terhenti.
Tuh benar kan.
“Buat rasa sakit..” ujaran itu datang dari kerongkongan yang serak. Lalu sejurus kemudian ada bening yang mengalir begitu saja dari sudut matanya. Mengubah sama sekali raut mukanya yang sebelumnya mirip penembak misterius itu.
Aku nyaris tak percaya dengan pemandangan di hadapanku. Ia kemudian menggamit lenganku, mengajak kembali ke mobil. Situasi itu terlalu emosional untuk dikelola di ruang publik. Kami masih menghabiskan sisa malam itu hingga larut. Aku memuaskan diri menangis dalam rengkuhannya. Berharap malam itu tak pernah berakhir.
Berharap kami, tak pernah berakhir.
Adegan itu, berulang-ulang, berputar dalam kepalaku. Dalam sadarku, dalam bunga tidurku.
Aku terbangun ketika matahari telah tinggi dan menjilatiku tanpa permisi. Rasanya aku tidak ingin bangkit dari tempat tidur hari ini. Berniat main petak umpet dengan matahari, lalu tak perlu ditemukan lagi. Tiba-tiba baris lagu lawas The End of The World terlintas di kepalaku.
Kenapa matahari tetap bersinar? Kenapa burung-burung masih berkicau? Kenapa jantungku masih berdetak? Kenapa mesti ada hari Senin? (yang ini tambahan dariku sendiri). Apakah mereka tidak tahu kalau ini akhir dunia buatku?
Hahaha. Aku tak tahan untuk tidak tertawa. Konyol. Hari gini masih patah hati, apa kata dunia?
Aku menyeret langkah, bergerak lambat dengan kepala berat. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku.
May, sudah dimana? Mbak Pretty nanyain.
Dari Sisi, sekretaris kantor. Jempolku bergerat cepat, On the way Si.
Yeah right, on the way ke kamar mandi.
Mungkin sudah waktunya aku mengusulkan cuti patah hati di kantorku. Ada perusahaan market research di Jepang yang sudah memberlakukan aturan ramah perempuan atau yah sebutlah para pecundang cinta ini. Shitsuren kyuka istilahnya, yaitu cuti berbayar bagi para stafnya yang sedang mengalami patah hati. Bagi mereka di awal usia 20-an bisa mengambil cuti satu hari. Yang berusia 20-an akhir berhak untuk dua hari. Dan yang 30-an, boleh mendapatkan tiga hari.
Jadi mestinya aku berhak untuk tiga hariku. Ketahuan deh sekarang berapa umurku.
Ini memang kesalahan besar sejak awal. Saat usia memasuki kepala tiga, aku malah memulai suatu hubungan yang tak bermasa depan. Menghabiskan hampir 2 tahun bersama, seperti menutup mata bahwa jalan keluar itu memang tak pernah ada. Curiosity kills the cat, kata peribahasa. Tapi kucing punya sembilan nyawa, kata peribahasa yang lainnya. Dan untuk memenuhi rasa ingin tahuku selama ini, aku tampaknya sudah menghabiskan 10 dari 9 cadangan nyawa yang kupunya.
Alias defisit. Rugi Bandar.
Ponselku berbunyi lagi.
May, rapat mau mulai nih. Gw bilang apa ke Mbak Pretty?
Sisi lagi. Duh, ngomong apa ya? Ingin rasanya bisa langsung menitip usulan, bagaimana kalau kita punya cuti patah hati, yang diberlakukan mulai, hari ini?
Hum, ide buruk.
Iya, gw mungkin telat setengah jam Si. Bilangin maaf ke Mbak Pretty dan habis meeting gw minta sesi khusus untuk ngobrol. Thanks Si.
Aku bergerak cepat memburu waktu. Untung jarak kosku ke kantor hanya 15 menit dengan ojek motor.
Teberkatilah Mbak Pretty, pendiri sekaligus chief executive officer perusahaan konsultan public relation tempatku bekerja.
Teberkatilah klien-klien kami, untuk kepercayaan dan feed back mereka yang bagus, sehingga di saat bisnis sedang sulit seperti ini, perusahaan masih bisa berjalan.
Teberkatilah rekan-rekan wartawan yang menyenangkan, tak sabaran dan haus berita yang masih tertarik meliput isu yang kami tawarkan.
Perpaduan dari semua itulah yang membuat keterlambatanku ke rapat kali ini bukanlah kiamat.
Mbak Pretty sama sekali tidak memperlihatkan wajah bete kepadaku. Tapi wajahnya tampak letih dan banyak beban. Bisnis akhir-akhir ini memang kian menantang. Saingan bertambah banyak, sementara anggaran perusahaan untuk aktivitas kehumasan berkurang, terutama sebagian perusahaan yang masih banyak bergantung pada kantor pusat mereka di Amerika Serikat atau Eropa. Kondisi perusahaan kami yang baru berusia lima tahun ini terhitung lumayan, tapi belum bisa dikatakan benar-benar mapan.
Aku minta maaf atas keterlambatanku dengan alasan sakit. Benar kan, aku memang patah hati. Dan salah satu penelitian yang pernah kubaca di Majalah Time menyebutkan bagi otak rasa sakit patah hati setara dengan sakitnya patah tulang. Jadi aku nggak terlalu berbohong kan.
Mbak Pretty ternyata hendak bercerita masalah yang lebih besar. Salah satu klien kakapyang sudah tiga tahun ini bekerja sama dengan kami tak lagi melanjutkan kontrak. Ternyata orang internal mereka baru saja mengundurkan diri dan memutuskan untuk mendirikan konsultan sendiri. Jadilah semua projek perusahaan itu yang biasa kami tangani beralih kepadanya.
Mbak Pretty kemudian berbagi tentang kondisi bisnis terakhir yang memang sedang banyak menghadapi tantangan. Waktunya untuk aktif menawarkan proposal dan program ke berbagai perusahaan juga.
“Aku berharap kamu bisa lebih fokus untuk saat-saat sekarang ini. Setelah Arya resign, kamu andalanku nomer satu lah,” ujarnya lagi.
Arya adalah senior associate di kantor kami, yang baru mengundurkan diri tiga bulan lalu. Sejak dia pindah menjadi PR internal korporasi, banyak tanggung jawabnya yang dialihkan kepadaku. “Kompensasinya pasti ada May, tapi lebih dari itu, aku percaya kamu juga merasa memiliki perusahaan ini. I trust you,” kata Mbak Pretty..
Dan dalam dua hari lagi ada presentasi penting yang mesti aku lakukan di depan calon klien potensial. Mbak Pretty sudah terlanjur ada pertemuan penting dengan klien di Singapura, hingga aku lah yang harus menanganinya.
Aku menghela nafas dan mengangguk, sambil tetap menunjukkan wajah yang optimistis. Aku tidak mungkin mengecewakan dirinya. Buatku Mbak Pretty lebih dari sekadar bos. Dia mentor dan figur pengusaha yang aku kagumi. Pemimpin yang menginspirasi.
Aku keluar dari ruangannya dengan perasaan dua kali lebih berat. Wajahku pias dan kantung mataku menghitam. Kepada teman-teman yang bertanya, aku selalu menjawab sedang sakit, tidak enak badan, atau pre menstruation syndrome. Enak juga jadi perempuan, selalu bisa mengkambing hitamkan sakit bulanan.
Seharian itu, aku malas beranjak bahkan untuk makan siang..Mungkin patah hati memang mirip patah tulang, bikin kita sulit bergerak.
“Mbak Maya, kok makannya nggak dihabiskan?” sapa Pak Supri, Office Boy di kantor kami. Matanya yang belok tampak semakin besar.
“Eh, iya Pak, kekenyangan. Tadi kan saya pesan setengah aja nasinya.”
“Lah itu kan udah setengah Mbak, biasanya juga segitu kok..”
Hum.. aku merasa bersalah tidak menghabiskan makanan di saat banyak orang kesulitan makan. Tapi bagaimana dong, segitu saja aku sudah mati-matian menghabiskannya. Akhir-akhir ini aku betul-betul susah rasanya menelan makanan. Kegiatan makan itu hanya semata-mata untuk menyambung hidup saja.
Ketika Pak Supri berlalu aku kembali memelototi layar monitor. Otakku buntu. Padahal aku hanya punya waktu kurang dari 2 hari mempersiapkan presentasi yang ditugaskan Mbak Pretty kepadaku.
Ayolah May, hidup tidak menunggu kamu. Desisku, nyaris murka pada diri sendiri.
Ponselku berbunyi. Kulirik dengan malas, namun kemudian mengangkat dengan semangat ketika tahu siapa yang menghubungiku. Rena, sahabatku sang wartawan majalah kesehatan dan gaya hidup. Ia juga sahabat Yudha. Kami bertiga satu kampus dan berteman baik sejak dulu.
“May, masih macam ikan maskoki matamu ya?” ujarnya langsung.
Rena mengenalku lebih baik daripada siapapun.
“Ayolah kencan kita. Kutraktir kau,” ajaknya.
Kami merancang janji. Sore hari setelah presentasi pentingku. Yang aku pun belum tahu mesti menyampaikan apa.
. *********
Jangan percaya Jason Mraz. Percayalah padaku, It’s not lucky to be in love with your best friend. Ketika kalian berpisah, kamu kehilangan dua orang sekaligus. Kekasihmu dan sahabatmu.
Itulah yang terjadi kepadaku. Setelah perpisahan kami, aku belum berhasil mengiklaskannya. Dan hasilnya, kami pun sulit bersahabat lagi.
Aku gagal berbahagia untuknya yang segera mendapatkan pengganti diriku. Yang tak akan meresahkan kedua orangtuanya. Yang tak perlu mengurangi nabi. Yang bisa menyantap daging favoritnya,yang tak halal untukku.
Aku memang salah berhitung. Terlalu optimis menimbang kekuatan sendiri. Aku tahu konsekuensinya, tapi ‘tahu’ dan ‘mengalami’ ternyata dua hal yang berbeda. Dan aku tak pernah menyangka ternyata sesakit ini jadinya.Mungkin seperti pemain debus yang gagah berani menelan api, tanpa menyadari ia belum tamat kelas kekebalan.
Aku menyesal kamu tidak tahu konsekuensinya, tapi aku tidak menyesali hubungan kita. It’s over I’m moving on. I hope you’re moving on
Mudah baginya bicara begitu. Mudah baginya untuk melanjutkan hidup. Harusnya juga mudah untukku. Andainya juga mudah untukku.
Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Aku masih berjuang menuntaskan materi presentasiku besok.
“Proyek itu sangat penting buat kita. Setidaknya bisa menyambung hidup perusahaan sampai tahun depan, sementara masih ada beberapa kemungkinan yang bisa kita jajaki,” ujar Mbak Pretty saat pertemuan terakhir kami. “Bagaimanapun, kita upayakan sedapat mungkin, jangan sampai ada perampingan. Aku percaya padamu,”
“Ok, Mbak. I’ll do my best,” jawabku dengan suara yang kumantap-mantapkan.
. “I know.”
Aku merutuki diri sendiri. Kenapa belum bisa melupakan sakit hati karena perpisahan itu? Kenapa masih sulit menerima dia berhubungan dengan orang lain? Kenapa usia mentalku seperti berhenti di umur 15 tahun?
Potongan-potongan percakapan kami, hadir memberati pelupuk mata. Hari di mana kami memutuskan untuk menjalin hubungan tanpa muara.
“Seandainya situasinya berbeda, seandainya….” kalimatnya terhenti dalam gumam tak kentara.
Ia mengeratkan genggaman tangannya. Aku menyandarkan kepala di bahu kanannya. Berpasrah pada gelombang perasaan.
“Tapi kita tak akan kemana-mana juga..Dan saat waktunya tiba, bagaimana mengakhirinya?” tanyaku.
“Aku akan mengakhirinya dengan cara paling manis yang bisa dilakukan,” ujarnya serupa ikrar,
Namun tak pernah ada cara termanis untuk berpisah. Tak akan pernah.
Tuhan, aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapi presentasi besok. Nasib perusahaan ini sedikit banyak berada di bahuku. Terbayang wajah-wajah orang di kantor, dari mulai Mbak Pretty, semua rekan-rekanku di kantor, sampai mata belok dan muka polos Pak Supri.
Ingin rasanya bersembunyi di bawah selimut, berhibernasi selama 6 bulan, melewati semua masa-masa sulit ini.
Aku mematikan laptopku karena sudah tak tahu mesti menambahkan apa lagi untuk menyempurnakan presentasiku. Perjuangan berikutnya, berusaha tidur.
Dan berharap Yudha tak mampir di mimpiku malam itu.
***********
“Untunglah hatimu yang patah, May. Bukan jantungmu..” ucap Rena. Ia tertawa renyah memamerkan giginya yang putih rapi. Gurauan khas wartawan majalah kesehatan kerap muncul di sela percakapan kami.
Sore itu kami jadi berkencan. Rena adalah jaring pengamanku yang siap menangkapku kala ku jatuh. Selalu.
“Maksudmu Ren?”
“Ya iyalah, patah hati dalam bahasa Inggrisnya, broken heart. Heart dalam bahasa Indonesia itu jantung kan? Kalau jantung sudah patah, jauh lebih repot masalahnya. Beda dengan hati. Hati adalah organ yang bisa meregenerasi dirinya sendiri May.”
“Oiya?”
“Iya, hati dapat meregenerasi diri dalam waktu 150 hari. Bahkan, jika 70% hati seseorang dipotong, hati mampu kembali ke ukuran normal sampai dengan 90% dalam waktu dua bulan,” jelas Rena.
“Tapi ada yang namanya sirosis, kerusakan hati yang sudah sangat parah kan?” bantahku.
Rena mengangguk. “Iya memang dalam kondisi itu hatimu tak bisa meregenerasi diri. Tapi kau bisa mendapatkan transpalantasi hati dari donor hidup. Dan hati sang donor akan kembali utuh dalam waktu tiga bulan. “ sahutnya ringan. “kalau jantung, mana mungkin?”
“Jadi jangan khawatir kau. Bukan kebetulan nenek moyang kita menamakan fenomena itu sebagai ‘patah hati’ dan bukan ‘patah jantung’. Mereka lebih bijak dari moyang banyak bangsa lain di dunia yang menggunakan jantung sebagai analogi. Mereka tahu bahwa hati, selalu bisa meregenerasi diri. “ Rena merangkulku dan menepuk bahuku perlahan.
Mau tak mau aku tersenyum mencerna candanya, yang mungkin mengandung unsur kebenaran juga. Entahlah.
Ponselku bergetar. Pesan singkat dari Mbak Pretty.
Proficiat Maya, This company is so proud of you.I AM so proud of you. We should celebrate this.
Ia menanggapi laporanku tentang hasil presentasiku siang tadi. Aku, entah bagaimana bisa melakukan presentasi itu dengan baik, dan kami berhasil mendapatkan projek itu. Mereka bahkan merencanakan kontrak untuk dua tahun sekaligus karena tertarik dengan konsep yang aku tawarkan.
Hanya Tuhan dan mungkin setan yang tahu, bagaimana aku bisa melalui presentasi itu dengan gemilang. Tadi pagi, dalam kondisi lelah karena tidur yang tak pernah nyenyak, aku hanya bisa berdoa :
Tuhan, kalau pun Kau nggak sayang aku, setidaknya tolong sayang Pak Supri. Jadi, tolonglah dukung presentasiku dengan cara apapun yang Kau mau.
Sepertinya Tuhan memang sayang Pak Supri. Atau mungkin, Tuhan juga sayang aku.
“Kita harus rayakan keberhasilanmu hari ini May! Makan yang banyak,sudah macam tengkorak kau!” ledek Rena.
“Ren..”
“Hum?”
“Semoga aku nggak ‘sirosis’ ya..”
“Hahaha, nggak lah. Kalaupun iya, kita cari “donor hati” yang keren! Kok repot!’
Aku terbahak. Lalu mengangkat gelasku untuk mengajak Rena melakukan cheers, “Untuk para moyang kita yang bijak yang menjadikan hati sebagai analogi rasa! “
Rena menempelkan gelasnya, menimbulkan denting di udara. “Untuk “donor hati” yang ganteng, pintar dan lebih segalanya dari Yudha..”
“Hahaha, Amin!”
“Cheers!”
Kami tertawa bersama.
Jauh di dalam tubuhku , masih kurasakan luka hati yang nyeri tak terperi. Kubayangkan, ia sedang berjuang meregenerasi diri. Bersabarlah hatiku. Tak lama lagi, pasti.
Recent Comments