Skip to content

Feby IndiraniFeby Indirani

  • News + Reviews
  • My Cup of Tea
  • Published Articles
  • Writings
  • About Me
  • Published Stories
Home > fiksi
Published June 28th, 2014 by febyindirani

Sepaket Sinar Matahari

Pagi berjingkat menyapa perempuan itu,. membelai pipinya dan mengecup dahinya. Tangan perempuan itu menjulur, meraba-raba telepon pintar, hendak meletakkan dirinya dalam ruang waktu.

6.30, liriknya dengan mata setengah terbuka.Waktu yang bagus untuk terbangun, tapi lebih bagus untuk tidur lagi. Tak ada tempat yang lebih menarik daripada bantal saat ini, dan ia pun terlelap lagi, merangkai bunga tidur yang terhenti.

Dua jam kemudian, matahari sudah tinggi dan menjerit-jerit seperti gadis kecil ceria, berloncat-loncat menuntut perhatian. Mata perempuan itu kini sudah terbuka sepenuhnya. Sedikit menyesal ia karena menikmati lelap terlalu lama, lalu membela diri bahwa ini hari liburnya. Disonansi kognitif  selalu berhasil menyelamatkan manusia dari rasa-rasa bersalah mereka.

Perempuan itu lalu tersadar betapa matahari telah memandikan kotanya dengan sempurna. Tak ada sudut yang terlewat dari jilatannya.Betapa teberkahi tanah airnya dengan terang dan hangat. Pikiran si perempuan melanglang ke negeri yang jauh, yang suatu ketika pernah menjadi rumahnya untuk waktu tak berapa lama . Rumah yang dingin, yang tak  kerap disambangi mentari.

“Hey, hari begitu cerah di luar sana, keluarlah!” ia terkenang seruan bos di kantor tempatnya magang waktu itu. Matahari begitu dipuja. Kulit-kulit putih itu siap bertelanjang menyerap sinarnya. Sementara di tempat asalnya, perempuan-perempuan sibuk berlindung di balik tembok dan di bawah payung. Terik matahari pun memicu pembangunan mal dan produksi Freon berlebih yang membuat  besar lubang-lubang pada langit. Entah mengapa, manusia terkutuk   besar kepala hingga sukar menghargai apa yang mudah didapatinya.

Terlintas di benaknya, lelaki  kenalannya,  manusia tropis yang terdampar di negeri dingin. Yang memenuhi darahnya dengan alkohol dengan nyaris obsesif sambil membantah itu bisa merusak livernya.Ia perlu menghangatkan tubuhnya, begitu pembenaran yang kerap diajukan. Lupa dirinya pada mual dan muntah esok harinya. Tapi begitulah, negeri itu memang sarang para pemabuk sepanjang yang diingat perempuan itu.  Pemandangan akrab yang bisa dilihat di siang hari sekali pun. Bahkan  di sana jika kau membunuh dalam pengaruh alkohol pun hukumanmu akan lebih ringan dibanding kau membunuh dengan sadar. Namun tingkat kejahatan malah rendah, tak seperti di negeri asalnya, dimana para pemerkosa bisa menjadikan alkohol sebagai pembenaran. “Jika kau sudah minum terlalu banyak, kau akan terlalu mabuk untuk melakukan apapun.” Begitu ujar teman-teman negeri dinginnya.

Negeri dingin itu kabarnya mengimpor sinar matahari dari Yunani.  Sinar matahari jadi komoditas istimewa, aku harusnya beralih profesi jadi pebisnis energi, pikir perempuan itu. Namun hari ini, ia hanya ingin memaketkan sinar matahari dan mengirimkannya ke apartemen lelaki tropis, yang kerap minum terlalu banyak dan lupa pada mual yang siap mendera.

Perempuan itu mengemas rapi sinar matahari, membubuhkan kecupan dan menyematkan pita di atasnya.

Writings

cerita mini fiksi

Published June 28th, 2014 by febyindirani

Grey

Perempuan itu menikmati cokelat dinginnya sambil mengamati langit abu-abu di atas kepalanya. Because the sky is blue, it makes me cry . Ia mereka-reka  apa yang akan Beatles nyanyikan tentang rupa langit yang ini sambil bertanya-tanya mengapa langit kerap tampak abu-abu di kotanya.  Mungkin perpaduan asap knalpot kendaraan yang melebihi ambang batas. Atau  bumi  tak sabar minta disapa, dan awan gelap  itu bersiap-siap mengangkut bingkisan rindu.

Gelas dalam genggaman si perempuan menatapnya  heran. Lensa matamu  yang abu-abu,Nona. Bukan langit yang sedang kau pandangi.

Perempuan itu meraba basah pada pipinya, dan bertanya. Adakah air jatuh dari langit,, atau matanya?

Writings

cerita mini fiksi

Published June 28th, 2014 by febyindirani

Surat Ke -93  

Ini adalah surat ke-93 yang kukirimkan kepadanya. Kulipat tepi-tepi kertas dengan saksama, menekannya licin-licin seperti  sedang menyeterika baju pesta. Masih sempat kuhirup aroma kertas yang khas, kuraba permukaan yang sedikit bergelombang karena tekanan tinta.

Ini  lipatan terakhir  sebelum kumasukkan ke dalam amplop yang akan menguncinya dalam lekat. Kupisahkan kembali tepi kertas yang telah berpadu, hingga terpampang lagi deretan huruf biru cerah yang kutorehkan, dengan tulisan tangan yang kecil dan rapi.

Sayangku, begitulah suratku selalu kumulai. Inilah suratku yang ke-93 untukmu. Artinya untuk ke-93 kalinya aku membuktikan kerinduanku. Aku kangen. Aku kesepian di sini.

Tak pernah sekalipun ia membalas  surat-suratku. Dugaku, ia tak akan punya nyali  bahkan untuk membukanya. Kubayangkan tangannya gemetar menggenggam suratku, sebelum merobeknya hingga kecil. Mungkin jika belum puas juga, ia akan mengambil pemantik lalu mulai menyulut apinya pada carikan kertas putih.

Menghanguskannya.

Tapi aku terus menulis surat, karena aku tahu jauh di dasar hatinya ia terus mengharapkan aku melakukannya.  Aku kenal betul lelaki itu sampai ke isi perutnya. Aku hapal betul kebiasaannya. Ia akan tetap mengenang dan membayang-bayangkan aku. Aku adalah mimpi-mimpinya. Ia boleh  membakar remah suratku jadi abu, tapi panasnya bara dari jantungku akan terus menyala.

Menghantuinya.

 

Apakah lawan dari cinta? Bukanlah benci, melainkan ketidakpedulian.

Sejak lahir manusia diciptakan untuk bersuara lantang. Menjerit dan menghentakkan kaki. Seperti  suatu pernyataan jelas tegas  : aku hadir di dunia untuk memberikan tanda. Dan dalam hal mendamba perhatian, nyaris tak ada bedanya apakah kau berusia sehari atau seribu satu kali lebih tua.

Karenanya pengabaian adalah bentuk hukuman paling kejam. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada keberadaan yang dinafikan, sehingga tak ada bedanya apakah kau itu dinding, pulpen kayu atau gembok besi.

Dan tak ada yang paling menusuk ketimbang diabaikan oleh lelaki yang kau cintai.

Tak pernah sekalipun ia membalas surat-suratku, yang kutulis dengan warna tinta biru cerah, kulipat tepi-tepinya dengan saksama, lalu kutekan licin-licin bak menyeterika baju pesta.  Aku menuliskan surat untuknya setelah sekian lama tak jumpa,  air mata yang selama ini tertahan bak bisul akhirnya meletus juga. Konon ketika air mata pertama mengalir dari mata sebelah kiri, artinya kita menangis karena sesuatu yang menyakitkan. Sementara jika dari mata sebelah kanan, itu berarti sesuatu yang membahagiakan. Tapi air mataku terlahir sebagai anak kembar, dari sisi kiri dan kanan. Mungkin karena dialah sumber kebahagiaan sekaligus kedukaan. Bukankah duka cita adalah suka cita yang terbuka kedoknya?

Suratku tak pernah tersesat. Ia tiba tepat di alamat, karena jika tidak ia akan berbalik kepadaku dengan catatan tertentu. Itu surat yang begitu mendamba, sehingga bila pun salah alamat, semua yang menerimanya pun tak akan tega mengabaikannya.

Kubayangkan jika suratku tersesat ke tangan seorang wanita tua, ia akan menulis balik padaku dengan jemarinya yang keriput dan bergetar. Ia akan mengabarkan, suratku salah alamat, atau lelakiku sudah pindah tempat. Tapi tak lupa, ia akan berpesan :

Maaf aku tak sengaja membaca suratmu sewaktu ingin mengirimkannya kembali. Namun bila lelaki ini telah berhenti memberikan kabar selama itu, percayalah ia memang tak ingin kau cari. Lalu ia akan menuliskan nasehat dengan jemari yang keriput dan bergetar, sesuatu yang sering dibisikkannya kepada orang-orang muda yang ia tertukar sebagai cucunya, jangan biarkan hatimu buta karena cinta.

Lalu jika suratku tiba di tangan seorang siswa SMP yang aktif di keruhanian agama, ia akan mengerutkan dahi dan berpikir. Perempuan yang menulis surat ini mungkin datang dari masa depan. Di masa kini ia adalah  siswi kelas sebelah yang menaksirnya sejak semester lalu, menuliskan busa-busa cinta pada majalah dinding atau surat-surat tanpa nama yang ia temukan di laci mejanya. Si siswa SMP akan mengembalikan suratku, tapi tak kuasa menorehkan pesan singkat dengan tulisannya yang seperti morse rumput: Kakak salah alamat. Tapi kata Pak Guru, pacaran itu tidak baik untuk anak sekolah,

Daftar kemungkinan yang masih berderet panjang. Namun aku merasa pasti, surat itu terlalu mendamba untuk dianggap tiada. Kecuali di mata orang yang ditujunya. Hanya dia satu-satunya orang di dunia yang mampu mengabaikan suratku.

Pada suratku yang ke-37  yang tak juga pernah dibalasnya,  mataku seperti akan meledak akibat terlalu panas. Lahar yang mengalir telah melindas bukit- bukit pipi, sejak menganak sungai hingga mengering sendiri.  Selesai melipat tepi-tepinya dengan saksama, aku membuka kembali pinggir kertas yang sudah berpadu. Terhamparlah huruf-huruf berwarna biru cerah. Terpaparlah hidungku aroma kertas yang khas.

Lalu tiba-tiba aku muntah. Mengeluarkan seluruh isi makan siangku hari ini, makan malamku kemarin, dan ketika tak bersisa lagi isi perutku, namun aku masih juga ingin muntah, aku tiba-tiba mengeluarkan sesuatu yang membuatku jijik.

Aku memuntahkan cacing tanpa kepala. Atau sesuatu yang mirip seperti itu. Seluruh tubuhku gemetar menahan mual. Tak sanggup menatap, tapi tak kuat membunuh. Dia hidup, dan sejak hari itu menetap berkeliaran di sekitarku, bergerak antara ada dan tiada di batas-batas sadarku.

 

3.

Kita menamakan mereka hantu.

Makhluk tak kasat mata yang berlalu lalang di sekitar kita. Tak jelas identitas dan asal muasalnya. Mereka  sibuk dengan kehidupannya sendiri, sambil melirik sesekali. Konon mereka sering pula mengikuti kegiatan kita , entah untuk tujuan apa.

Kita tahu mereka ada di sekitar kita,tanpa bisa menolak. Kita mesti puas berdamai, bahwa cukuplah mereka tak memperlihatkan rupa seram atau suara yang mendirikan bulu kuduk. Kita belajar hidup berdampingan, berupaya tak saling menganggu. Secara sadar kita memilih mengabaikan mereka, antara bentuk penyangkalan dan ketakutan bahwa mereka benar-benar ada. Sambil dalam hati merutuki kenapa kita sedemikian pengecutnya terhadap makhluk yang muncul sesekali dalam batas-batas sadar tak sadar kita.

Lelaki itu bersikap seolah suratku tak pernah tiba. Memilih mengabaikanku, perempuan yang muncul sesekali dalam batas-batas sadar tak sadarnya. Begitulah caranya  ingin lepas dari masa lalunya. Memutuskan segala ikatan. Lenyap. Moksa. Ia berharap dirinya hilang. Tanpa masa depan. Tanpa masa lalu. Tanpa sejarah. Gentayangan. Bebas.

Kapan kita menikah? Kapan kamu kembali?  Pertanyaan itu terus terngiang di telinganya. Ia yang pernah berlutut sambil mengenggam tanganku dan mengucap janji bahwa ia pasti kembali.

Ia mungkin saja tenggelam dalam kesibukannya. Orang-orang yang bekerja di ibukota selalu bersikap seolah diri mereka sangat penting dan sibuk. Lalu aku muncul sesekali memamerkan rupa seram dan mengeluarkan suara yang mendirikan bulu kuduknya.

Ia mungkin saja meniduri penjaga warung, pelacur ataupun penyanyi bar yang mengesankan. Tapi ia tak akan pernah bisa menghilangkan bayangku. Yang muncul di antara mimpi junubnya dan batas-batas sadar – tak sadarnya.

Aku tahu akan terus menghantuinya, seumur hidupnya.

*****

4..

Kami berpisah di suatu senja. Ia memutuskan berangkat ke ibukota, meninggalkan kota kami. Tanah yang mengubur ari-ari dan merekam  ribuan jejak kaki kami yang telanjang.

“Aku tak bisa membayangkan tubuhku tak kunjung pergi dari sini, sejak lahir sampai mati, “ ujarnya dengan sorot mata menerawang, menatap jauh ke barat, menembus cahaya matahari yang melesat-lesat.

Lelaki itu memuja senja. Dia selalu punya seribu satu cara mengulas-ngulas senja,  laksana hendak mengagungkan surga

Sedangkan aku, adalah perempuan yang membenci senja.  Senja hanya membuatku gundah. Segala keindahan, warna keemasan di langit itu adalah tanda duka cita. Keemasan yang berubah menjadi keremangan, lalu gelap dan dengannya kita tahu telah berpisah dengan suatu hari. Senja adalah waktu perpisahan dan selamanya aku membenci kehilangan.

Seperti lelaki itu. Aku sudah kehilangannya padahal jasadnya masih duduk bersisian denganku .

Jiwa dan benaknya telah berangkat lebih dulu. Ia menyusul lelaki-lelaki kota kecil kami yang bertaruh nasib di ibukota. Ada sebagian yang kembali dengan bangga,pakaian jelas baru, ucap berbuih syukur dan tak lupa membagikan kelebihan rejeki pada sanak kerabat. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pegawai rendahan di kantor. Hanya sedikit sekali yang betul-betul bernasib baik, seperti menjadi supir pribadi bos. Nyaris tak ada yang menjadi pedagang, meski nabi yang mereka puja bersabda 80 persen rejeki diperoleh dari perniagaan.

Sejumlah besar dari mereka tak pernah kembali. Mereka hanya memberi kabar untuk kalangan terbatas, sekadar mengelola rasa aman pihak keluarga. Tetap dengan pesan, jangan terlalu banyak bercerita pada tetangga. Kelompok yang ini bekerja mulai dari supir angkutan cabutan yang getol mengejar setoran harian hingga tukang bangunan dan portir angkat barang.

Ia bisa saja mengelola toko kecil milik ayahnya atau membuka rumah makan seperti saudara-saudaranya. Membuka lapangan pekerjaan bagi orang-orang terdekat dan  menggerakkan ekonomi setempat, Pilihan yang menurutku lebih bermartabat dibanding berangkat untuk siap hidup melarat.

Tapi ia membenci pagi. Ia membenci udara yang bergegas dan tergesa. Pagi adalah waktu hidup orang-orang yang sibuk ingin membuktikan diri. Lebih dari itu, lelakiku terlalu romantis untuk seorang pedagang yang melandaskan keputusannya pada untung dan rugi.

Ia tak pernah nyata-nyata mengatakannya, tapi aku merasakan ia sebetulnya ingin menjadi wartawan.

Aku menangkap hasrat itu sejak lama, saat suatu hari seorang wartawan ibukota mampir ke SMA  kami. Tepatnya warung di depan sekolah.  Ia tampak keren dengan pulpen, notes dan kamera.  Di lehernya tergantung kartu pengenal bertuliskan wartawan suatu media nasional.   Si wartawan sempat menyapa kami dengan ramah. Suatu pertanyan basa basi yang tak pernah disadarinya telah mengubah hidup sepasang remaja , selamanya. Lucu ketika perbuatan-perbuatan remeh untuk seseorang bisa berarti dunia bagi orang yang bahkan tak pernah diingatnya.

Lelakiku yang saat itu sedang sibuk bergelut dengan badai testosteron terpesona. Mungkin kali pertama dalam hidupnya ia terpukau kepada sesuatu selain tubuh perempuan. Sejak itu aku menangkap binar berbeda di matanya saat melihat barisan huruf pada surat kabar. Ia telah jatuh cinta. Dan hidupku pun tak akan pernah sama.

“seorang lelaki suatu saat harus pergi dari rumahnya, mengembara.”

Lelaki hanya melakukan apa yang harus dilakukannya. Saat itu aku tahu, tak ada yang dapat menghentikannya. Terlebih aku. Senja itu ia berangkat, meninggalkan kota tempat kami lahir, tumbuh bersama, dan bercinta untuk pertama dan terakhir kalinya.

 

5.

Di ibukota, aku berani bertaruh ia makin benci lagi kepada pagi. Dia membenci pagi. Dia membenci orang-orang yang bergegas karena takut terlambat. Ia menyebut orang-orang itu bermental budak dan konyol. Sesungguhnya kurasa ia hanya malas sekaligus angkuh. Ia ingin menjadi tuan untuk dirinya sendiri, bangun dan tidur tanpa siapapun mengingatkannya. Termasuk olehku perempuan pecinta pagi yang berhasrat menjadi istrinya..

Aku mencintai pagi, terutama fajar pertama yang merekah setelah saat-saat paling gelap. Pagi mengingatkanku pada awal. Pagi adalah gerbang pada terang. Menurutku  orang-orang yang membenci pagi sekadar terlalu pengecut menatap sinar matanya yang tajam. Pagi adalah cermin besar di hadapan hidungnya, dan dia tak sanggup menyaksikan kekalahannya sendiri. Pagi hanya ramah kepada orang-orang yang berani berharap.

Mencintai pagi dan dirinya adalah sesuatu yang bertolak belakang. Namun bagiku, itu bukan pilihan meresahkan. Cintaku cukup terentang dari pagi hingga petang. Sedangkan jika ia harus memilih antara aku atau senja, ia pasti berpihak pada senja. Bukan karena ia tak mencintaiku, tapi karena ia malas sekaligus angkuh. Aku memilih mencintainya. Atau mungkin cinta telah memilihku. Dan  jika kau mencintai hingga terasa menyakitkan, kau akan menemukan tak  ada lagi kebencian, yang ada hanyalah cinta yang lebih besar.

Setelah surat ke -50, menjadi tak ada bedanya lagi apakah ia akan membacanya, membalasnya ataukah memusnahkannya dengan segera. Aku mengirimkan surat itu bukan untuk mendamba balasan. Aku melakukannya karena aku mesti melakukannya. Dan aku terus menulis surat kepadanya. Hingga sampai di hari ini, surat yang ke-93.  Surat yang  akan diselipkan di bawah pintunya, dan akan segera berakhir menjadi abu tanpa sempat mengucapkan kata-kata.

6.

Suatu hari nanti, manakala tiba waktunya, aku tahu kami akan berjumpa. Entah aku yang mendatanginya ke ibukota, atau ia yang bertandang kembali ke kota kecil kami merayakan kekalahan sekaligus keberanian mengembara.

Aku telah mengulang-ngulang adegan itu di dalam kepalaku.

Kami  bertemu di suatu pesta. Ia akan dengan cepat mengenaliku. Aku terlalu nyala di antara kerumunan, terlalu cantik untuk diabaikan. Ia yang kini bergaya ibukota, akan menatapku dengan ekspresi terkejut entah murni atau rekayasa.

Ya, jauh lebih mudah tidak mempedulikan seseorang bila ia tak nyata-nyata berdiri seruangan denganmu. Ia akan datang ke arahku lalu memberikan rangkulan hangat sambil menempelkan pipi kiri dan kanannya, sementara udara di sekitarku terasa hampa.  Hal sama persis yang dilakukannya kepada semua perempuan yang dikenalnya dalam ruangan temaram padat orang itu. Tapi hanya aku, Tuhan, dan dia yang tahu bahwa kami berbeda.

Dia kemudian berdiri  tepat di hadapanku, seperti impian,  menatapku dan bertanya “Bagaimana kehidupan? “

Aku bisa saja mengguyurnya dengan minuman pada gelasku, sambil berkata, “Ini untuk segala pengabaian  yang selama ini kau lakukan.” Lalu memecahkan gelas itu, menggenggam pecahannya sambil menusukkan pada perutnya, “Dan ini untuk menanyakan kehidupanku seolah kau tak tahu betapa sakitnya rasa diabaikan itu..”

Tapi jika saat itu tiba, aku akan menjawab dengan mata yang bersinar, dengan kalimat yang sudah kulatih berulang-ulang. “Hidupku sangat baik, “ nada bicaraku menggantung di udara, menelan semua kisah di baliknya dengan senyuman yang hanya bisa membuatnya menduga-duga, apa yang sebenarnya berada di dalam benakku.

Aku mengulang-ulang adegan itu, dari senja hingga pagi tiba.

 

(tribute to Seno Gumira Ajidarma, Surat dalam Atas Nama Malam)

Writings

cerpen fiksi

Published June 28th, 2014 by febyindirani

Mencintai Bara

Brengsek! Virni merutuk dalam hati. Wajahnya terasa panas. Ia bisa merasakan denyar jantungnya memompa darah dua kali lebih cepat. Ia tidak mengira akan mendapat kejutan di malam hari. Apalagi dari perempuan yang telah menganggu ketenangan hidupnya selama beberapa bulan terakhir.

 

“Halo Virni, lo masih di sana?” panggil Sandra produserVoice FMdi ujung telepon.

 

Hening sesaat. Virni meletakkan tasnya lalu terduduk di sisi tempat tidurnya. Ia belum lima menit tiba di kamarnya ketika Voice FM, radio yang sangat beken di kalangan anak muda itu tiba-tiba menelponnya. Tubuhnya yang masih terbalut kemeja putih dan jeans bergerak mencari sandaran.

 

Virni mendehem sebelum menjawab. Kerongkongannya tercekat. “Ya?”

”Kalau bersedia, kamu akan on air sebentar lagi. Gimana Vir, ok kan? “ suara alto yang agak serak itu kembali terdengar.

 

Virni bisa saja mengatakan tidak. Tidak, ia tidak mau bicara dengan perempuan murahan itu. Tidak, ia tidak sudi seisi kota ini mendengar masalah keluarganya. Tapi Mandy, perempuan perusak ketenangan keluarganya itu sudah melangkah terlalu jauh. Mengumbar masalahnya di ruang publik seperti ini? Apa sih yang dia inginkan? Minta dikasihani? Mencari simpati? Dasar Ratu Drama!

 

Sudah kepalang. Virni merasa Mandy sedang menantangnya secara terbuka, seperti menyorongkan pedang mengajak bertarung. Virni tak akan mundur. Demi almarhum Mama dan kehormatan keluarganya. Perempuan jalang itu pun pantas diberi pelajaran.

 

“Ya, gue siap..” sahut Virni kemudian. Lalu menarik nafas dalam, menghimpun kekuatan.

 

“Ok Virni, kamu akan langsung dihubungkan dengan Benny dan  Susan juga Mandy. “ suara produser bernama Sandra yang serak dan enak didengar itu terdengar menenangkan. Andai situasinya berbeda, Virni akan melonjak gembira, karena kedua penyiar ini adalah favoritnya, salah satu duo penyiar paling terkenal se-Jakarta raya. Namun kini ia hanya merasakan pergulatan dalam perutnya.

 

Virni kini bisa mendengar suara  Benny dan Susan yang sedang on air.  Tampaknya mereka sedang membacakan tanggapan pendengar yang masuk melalui akun twitter Voice FM.

 

“Ya Paramuda, itu beberapa tanggapan dari Paramuda ysudah mendengar cerita Mandy. Dan Mandy ini pengen banget punya kesempatan untuk ngomong kepada keluarga kekasihnya.” Terdengar suara macho milik Benny. “Di Dare to be Honest kali ini, kami sudah berhasil menghubungi Virni putri kekasinya, supaya Mandy bisa langsung ngomong jujur kepada Virni, apa sebetulnya yang ingin disampaikannya.

 

“Selamat malam Virni.. Terimakasih sudah bergabung di program Dare to be Honest,“ sapa Susan dengan suara empuknya. “Siap ya Vir,Mandy akan langsung ngomong sama lo untuk menyampaikan isi hatinya..”

 

Hening sejenak. Virni menunggu dengan berdebar.

 

“Virni, ini gue Mandy..” Terdengar suara yang manja, seperti orang yang menyeret-nyeret langkahnya. Mendengarnya, Virni merasakan tekanan darahnya langsung melonjak.

 

“Iya gue tahu!Mau apa lo?” Virni memotong galak.

 

Terdengar Mandy menghela nafas. “Virni, sori banget. Gue sengaja pakai cara ini karena gue udah nggak tahu lagi, gimana caranya ngomong sama lo.”

 

“Norak amat sih pake telepon-telepon radio segala!Lo tuh emang kampungan ya!”

 

“Virni, please dong..” suara lembut Benny kembali terdengar, menengahi. “Mandy mau coba menyampaikan sesuatu. Dan Paramuda se-Jakarta raya ini lagi dengerin kalian. Ayo dong kita belajar menyelesaikan persoalan secara dewasa. Silakan Mandy, lanjut..”

 

Mandy kembali menghela nafas.

 

“Virni, gue cuma mau bilang, gue dan Mas Bara saling mencintai. Cinta kami itu murni, tulus. Lo udah dewasa Vir, lo pasti ngerti bagaimana rasanya mencintai seseorang. Gue dan Mas Bara sudah saling merasa cocok,  saling membutuhkan..”

 

Suara Mandy mengalun hati-hati. Kata demi kata  lahir dengan jeda yang tertata.Ia pasti sudah merencanakan drama ini dengan baik. Perut Virni langsung mual mendengarnya. Segala kemarahan mendesak kerongkongannya. Terbayang lagi ejekan yang kerap diterimanya dari teman-temannya karena hubungan Mandy dan papanya.

 

“Aaah! Stop ngomong Mas Bara, Mas Bara! Dia itu bokap gue tau! Dan dia 25 tahun lebih tua dari lo! DUA PULUH LIMA TAHUN! Apa lo ini nggak laku sama  cowok yang mudaan? Jalan kok sama Om-Om! Dasar jablai lo!” pekik Virni.

 

“Vir.. sabar Vir,” kini giliran Susan yang menengahi. “Ayolah Virni, biarin Mandy selesain dulu omongannya..”

 

Benny mengacungkan jempolnya ke arah produser Dare to be Honest, Sandra yang mengawasi dari ruang operator.

 

<T O P B A N G E T> Benny komat-kamit dengan wajah cerah.

 

Sandra  menggangguk tanpa senyum. Ia melirik layar komputer yang menampilkan halaman Twitter dan menyaksikan mention akun Voice FM terus bertambah dalam hitungan detik. Dare to be Honest memang menjadi acara unggulan sejak mulai diluncurkan tiga bulan lalu.

 

Sandra mengklik window lainnya, dan halaman akun Facebook Mandy Widyasari langsung terbuka. Di foto profilnya, Mandy memasang fotonya dengan seorang pria matang dengan rambut keperakan yang menyebar dan senyum yang mampu membuat jantung perempuan muda berdebar. Mandy berkulit cerah dengan rambut lurus model bob  yang di-highligt keunguan, mengenakan kemeja hijau toska dengan dua kancing atas terbuka. Sementara pria di sampingnya mengenakan polo shirt putih yang mencetak otot-otot dadanya yang bidang. Pria yang tertempa oleh perjalanan hidup, lengkap dengan dirinya sendiri, dan yang jelas terlihat sangat menarik. Bara Ananta.

 

“Virni, berhenti merasa benar sendiri, gue sudah kehabisan akal untuk menyampaikan ke elo betapa gue sebenarnya ingin mengenal lo lebih jauh dan bersahabat sama lo. Karena hubungan gue sama Mas Bara akan segera melaju ke tahap berikutnya, mau nggak mau kita akan sering ketemu Vir… “ ujar Mandy. Tampak jelas terdengar ia berusaha mengendalikan emosinya.

 

“Ke tahap berikutnya? Maksud lo? Mau lo apa sih? Nggak cukup apa lo ngerusak hidup gue?” terdengar pekik Virni lagi.

 

Sandra menahan nafas. Pertunjukan di udara ini semakin seru. Mention akun Voice FM dan retweet terus bertambah dalam hitungan mencengangkan.

 

“Gue? Ngerusak hidup lo? Nggak Virni! Nggak. Please jangan potong omongan gue!” suara Mandy bergetar. “Gue yang udah nggak tahan lagi dengan semua SMS-SMS gelap memaki-maki  dua bulan terakhir ini. Gue nggak tahan lagi surat-surat kaleng itu! “

 

“Heh, lo nuduh gue lagi!”teriak Virni.

 

Mandy terus bicara, “Papa lo aja udah kehabisan cara untuk ngomong supaya lo mau denger : kami saling mencintai dan nggak ada yang bisa mengubah itu. Kenapa sih lo nggak mau lihat dia bahagia?” “

 

“Heh! Denger ya! Lo jangan sekali-kali ajarin gue soal kebahagiaan bokap gue!” Virni terengah. “Gue ini  anaknya dan gue tahu banget apa yang bikin dia bahagia dan apa yang nggak. Selama ini hidup kami baik-baik aja kok!Sampe cewek gatel kayak elo, lonte yang doyan morotin Om-Om mulai masuk dalam kehidupan dia!”

 

“Virni.. ayo dong Vir jaga kata-kata lo..” potong Benny, halus tapi tegas. “Come on, kita udah sama-sama dewasa. Dan Paramuda yang dengerin kalian juga berharap kalian bisa menyelesaikan masalah ini baik-baik..”

 

“Gue nggak peduli!” kata Virni dengan suara tinggi. “Gue nggak peduli orang sedunia mau denger atau nggak! Denger ya. Mandy itu emang perek yang morotin bokap gue! Semua orang juga tahu kok! Dia lagi bikin tugas akhir dan nggak punya duit buat nyelesain kuliah. Makanya dia deketin om-om berkantong tebel!Supaya bisa dibeliin ini-itu! Ayo Ndy, ngaku lo!”

 

Sandra memberikan tanda ke arah Susan dengan memukulkan tangan kanannya ke telapak tangan kirinya sebagai isyarat waktunya melakukan intervensi.

 

“Virni,” panggil Susan dengan nada membujuk. “Pernah nggak sih lo pikir, bisa jadi bokap lo dan Mandy memang benar saling sayang? Sori, kata Mandy bokap lo udah lima tahun lamanya menduda sejak Mama lo wafat. Dan sebagai pria normal dia punya kebutuhan pribadi juga. Coba deh, lo dan adek-adek lo udah gede, punya kehidupan masing-masing. Wajar kan kalau bokap lo perlu teman? Tapi perempuan yang dekat dengan bokap lo sebelum ini pun selalu susah mau masuk ke anak-anaknya…”

 

“What?” Virni seperti tersedak. “Gila ya lo Ndy! Lo ember banget sih! Lo bocorin semua cerita bokap gue, keluarga gue ke orang luar? Gila lo emang!”

 

Dua detik berikutnya hanya nafas yang terdengar merambati gelombang udara.

 

“Ok. Kalau kalian semua mau denger,” Virni menghela nafas. Ia merendahkan nada suaranya.

 

“Biar adil, ini versi gue. Mandy itu mahasiswa fakultas ekonomi di sebuah universitas swasta terkenal, di mana bokap gue, Bara Ananta pengusaha sukses, beberapa kali jadi dosen tamu di sana. Mandy yang deket-deketin bokap gue, pura-pura minta bimbingan soal skripsilah, apalah. Padahal dia cuma cewek matre yang cari mangsa! Yang nggak tahan hidup susah, dan pengen cari jalan pintas untuk keluar dari masalahnya dia! “

 

“Mandy bisa menjawab jujur, darimana dia dapatkan puluhan juta untuk membayar uang kuliah yang nunggak, tas dan jam tangan Guess-nya, juga semua keperluan tugas akhirnya. Jawab Ndy, jujur dong..”  ujar Virni penuh tekanan. Terdengar semakin percaya diri. “Mandy juga mungkin bisa menjelaskan biaya perawatan kanker adiknya yang mahal luar biasa dan semua ditanggung bokap gue.”

 

“Gue nggak masalah bokap gue bersedekah ya. Tapi cukup lah, Mandy juga mestinya tahu diri. Bukannya malah ngebet minta dinikahi segera, meneror tante-tante gue untuk mendapatkan restu mereka.Pasang-pasang foto dan status terkait soal bokap di Facebook. Itu mengganggu banget. Padahal semua keluarga gue juga bisa melihat. Nggak ada soal cinta!  Gue tahu bokap kesepian, dan gue nggak ada masalah dia nikah lagi setelah sekian lama nyokap meninggal! Tapi dia PANTAS dapat yang lebih baik! Yang selevel sama dia dari segi apapun. Status, pendidikan, kekayaan, usia! Semoga lo semua mengerti duduk persoalan yang sebenarnya.. ” Virni menjelaskan berapi-api, dengan keyakinan seorang pemenang.

 

Sandra mengiriskan telunjuk ke lehernya. Benny langsung tanggap.

 

“Kayaknya Virni sudah menyampaikan maksudnya dengan jelas. Ok, Virni, terimakasih banyak atas sharingnya malam ini. Selamat malam,” Benny menggeser volume mikrofon yang terhubung dengan telepon Virni sampai ke level minimal.

 

Susan sigap menyambung, “OK, Mandy. Kami di sini turut sedih pembicaraan dengan Virni nggak berjalan sesuai keinginan lo.. Sorry banget. Terakhir, masih ada yang mau lo sampaikan?”

 

Terdengar isakan Mandy di udara.

 

“Yah, gue nggak tahu lagi mesti ngomong apa. Gue cuma mau lo tahu Vir. Gue mungkin orang miskin, tapi gue punya harga diri,” suara Mandy bergetar menahan tangis. “Semua berlangsung alamiah aja. Lo boleh tanya langsung ama bokap lo! Kalau aja lo nggak segitu egoisnya, lo bakal ngerti, bahwa cinta itu nggak terbatas soal umur, materi atau apapun..”

 

“Ok Mandy, terimakasih banget sharingnya malam ini di Dare to be Honest. Semoga segera ada jalan keluar untuk masalah kamu. Waduh San, sedih banget ya kalau kita denger pertengkaran kayak tadi?”

 

“Iya bener banget Ben. Virni, Mandy, kami di sini betul-betul prihatin sama masalah kalian. Bener lo, kami nggak berpihak ke siapapun. Kami cuma pengen bantu fasilitasi supaya kalian nemuin jalan keluar terbaik.”

 

“Dan Paramuda Jakarta, gimana pendapat kamu soal masalah Mandy dan Virni tadi? Silakan aja kamu bisa langsung twit, BBM, SMS.  Atau bisa juga telepon untuk ngobrol on air.Tapi setelah jeda berikut ini ya. We’ll be right back!” ujar Benny bersemangat.

 

Benny meletakkan headphone-nya. “Cihuy! Gile mention yang masuk aja udah ratusan, padahal acara baru separuh jalan! Belum puluhan SMS yang masuk. Buset! “ Ia menyodorkan tangan mengajak Susan tos.

 

Susan menyambut sambil tertawa riang. “Gile ya Cyin tadi! Seru banget! Gue deg-degan Cyiinn ….” Pipinya yang chubby bersemburat merah. “Mbak Sandra.. tob banget nih acara kita malam ini..”

 

Sandra tersenyum mencetakkan lesung di kedua pipinya. Ia menyelesaikan proses menggelung rambutnya yang berombak sebelum mengacungkan jempol kepada Susan dan Benny.

 

Acara setelah lagu dan pesan sponsor yang berderet-deret akan memberikan ruang kepada pendengarnya untuk eksis menyuarakan pendapat terhadap kasus Mandy dan Bara. Sandra mengangkat dua jari mendekati mulutnya, memberikan isyarat hendak pamit merokok kepada dua penyiar andalannya. Benny dan Susan bisa melanjutkan show malam itu tanpa memerlukan dirinya. Sedangkan Sandra butuh beristirahat dari kepenatan sejenak.

 

Benny mengangkat jempol. Sudah hapal kebiasaan Sandra.

 

Pintu besi itu mengeluarkan suara derit yang memekakkan telinga saat Sandra mendorongnya. Ia lalu duduk di tepi balkon, menatap lampu-lampu kota dari ketinggian roof top lantai 17 gedung kantornya. Sandra menyalakan rokoknya dan menghirup dalam-dalam, seperti menghela udara. Masih terngiang-ngiang di telinganya, perdebatan antara Virni dan Mandy yang baru saja berlangsung. Dapat dipastikan, inilah salah satu edisi Dare to be Honest paling berhasil. Ia yang menggagas acara ini yang  segera saja naik daun. Sejauh ini banyak orang telah memanfaatkannya. Melamar kekasihnya secara on air, menghubungi kembali mantan pacar untuk mengungkapkan ganjalan, ajang proklamasi bahwa dirinya adalah homoseksual, dan masih banyak lagi.

 

Mencengangkan bagi Sandra, betapa banyak orang butuh media publik sebagai jalan berkomunikasi interpersonal.

 

Sandra memandang langit hitam sambil mengembuskan asap rokoknya. Aku berani bertaruh, hubungan Mandy dan Bara tak akan bertahan lama, pikirnya. Mandy si Ratu Drama yang mengira ia sedang berjuang untuk cintanya.

 

Mau tak mau pikiran Sandra memvisualisasikan sosok perempuan berambut bob dan pria berusia 50-an dengan rambut keperakan, dengan otot dada yang bidang, dan senyum yang membuat jantung berdebar.

 

Gambaran itu memanggil memori akan aroma parfum Bvlgary Bara yang sangat disukainya, menyeretnya kepada kenangan dua tahun lalu.

 

Bara mengecup dahinya dengan lembut. Lalu mengusap air mata di pipinya.

“Jangan menangis, Cantik.. Tersenyumlah biar terbit sabit itu di pipimu..” ujarnya.

Sandra tersenyum, tak pernah bisa menolak bila Bara yang meminta. Tapi tangisnya tak mereda dan air mata terus meleleh pada lesung pipinya. Pemandangan yang kontras.

 

Bara memandangnya dengan tatapan penuh pengertian, sorot mata yang selalu melelehkan jantungnya, sebelum merengkuh tubuh Sandra dalam pelukannya. Sandra menghirup aroma parfum itu, memadatkan rongga paru-parunya, mencoba merekam setiap saat terakhir bersama Bara.

 

Satu tahun hubungan mereka tersimpan dengan rapi. Sandra sudah mendengar banyak tentang Virni dan anak-anak Bara, tapi tidak sebaliknya. Keputusan berpisah datang dari Sandra, karena orangtuanya sulit menerima rentang usia mereka yang sangat jauh. Bara setua ayahnya sendiri.

 

Melawan keluarganya sendiri, Sandra masih berani. Tapi mencintai Bara sama seperti hendak menggenggam bara api. Kau terpikat pada hangatnya, tapi tak bisa lebih dekat. Dan hanya butuh waktu hingga kau akan terbakar tanpa sadar.  Bara lelaki yang amat sangat menarik, mudah jatuh cinta dan dijatuhcintai oleh para perempuan muda. Perempuan muda yang mengelilinginya seperti laron yang sulit menjauh dari cahaya. Sosoknya yang percaya diri, dewasa, dan tahu persis cara memperlakukan wanita terlalu sulit dinafikan. Dan Bara selalu butuh banyak wanita muda untuk membahagiakan dirinya, wanita-wanita muda yang merasa dirinya istimewa, sampai mereka tahu mereka bukan satu-satunya. Mandy mungkin menginisiasi drama tadi, berharap bisa memenangi Bara. Entahlah, mungkin dia perempuan muda pertama yang berani mengajukan diri ke hadapan keluarga besar Bara.  Hingga mau tak mau menyingkap  kenyataan yang selama ini selalu disangkal anak-anak Bara yang sulit menerima jiwa merdeka ayah mereka.

 

Sekian lama Sandra  terombang ambing antara rasa cemburu, sekaligus terjerat dengan pesona Bara yang melenakannya. Hingga akhirnya, ia mengambil keputusan drastis untuk berhenti berhubungan sama sekali dengan Bara.

 

Berhenti berhubungan dengan Bara bagi Sandra sama sulitnya dengan pengguna narkoba yang merehabilitasi diri. Bara adalah candu. Namun kini dua tahun sudah berlalu. Hingga Sandra kembali bersentuhan dengan nama Bara, malam ini.

 

Air mata menetes perlahan, turun di bukit pipinya yang sepi sabit.

 

“Hey,” Benny tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Siarannya ternyata sudah usai.

 

Sandra menoleh, tak merasa perlu mengusap air matanya. Dirasakannya tangan Benny merengkuh bahunya. Sandra menyenderkan kepalanya di pundak Benny.

“Thanks Ben, that was a great show..”

 

Benny mengacak rambut Sandra dengan sayang. “Kamu yang hebat, menjalankan acara malam ini dengan cool, seperti Bara bukan siapa-siapa..”

 

Sandra hanya diam, merapatkan tubuhnya kepada Benny, sahabat yang banyak membantunya mengatasi dua tahun terakhir ini.

 

Sandra meraba dadanya, mencoba menjangkau rasa nyeri yang tersimpan di suatu tempat yang entah di mana. Nyeri yang berjingkat perlahan, lalu beranjak pergi.

 

Meninggalkan sisa bara.

 

 

 

 

 

Writings

cerpen fiksi

Published June 28th, 2014 by febyindirani

Luka Maya

Perempuan itu menatap dirinya di cermin, merapikan riasan di wajahnya yang menirus. Tampak jelas ia sudah kehilangan sekian kilogram berat badannya, meninggalkan rangka yang semakin tegas dan  pipi yang tak lagi menggemaskan. Ia masih fokus memermak  lingkaran hitam di sekitar matanya, jejak dari malam yang terjaga dan tangis tanpa suara.

Wajah yang mengerikan,  berbeda tipis dengan pemeran hantu atau mayat bangkit dalam film-film horor.

Ia memulas ulang bibirnya mencoba memberikan kehidupan melalui warna. Merah bata. Lalu tersenyum di depan cermin. Sekali. Dua kali.  Seperti presenter televisi yang berlatih sebelum tampil. Gagal. Lagi-lagi mukanya lebih mirip bintang suster ngesot atau hantu bangku kosong. Atau mungkin,  rintihan kuntilanak perawan.

Muka perempuan di depan cermin itu, mukaku.

Dan aku ada janji meeting dengan klien siang ini. Duh. Klien yang malang.

Apa daya, pertunjukan mesti terus berjalan.

“Mbak Maya, apakabar? Makin cantik saja sih,” sapa lelaki muda berkarir cerah yang menjabat head of Public Relation Division di perusahaan yang menjadi klien kami.

Menghibur, menyindir, atau berbasa-basi?

“Tapi kok kelihatan capek sekali ya?” ujarnya lagi.

Ia terdengar tulus,kok.

“Oiya ya? Ah mungkin agak kurang tidur aja,” sahutku sambil memasang senyum andalan. Halah.

“Jadi Mbak, tentang rencana event peluncuran produk baru itu bagaimana?“

Aku langsung membuka laptop dan berkas-berkas yang kubawa. Nada bicaraku berapi-api, kompensasi yang kusengaja untuk mengimbangi muka capek yang kurang jelas bentuknya ini.

“Jadi tak hanya peluncuran produk, sekaligus juga menunjukkan kepedulian perusahaan kepada korban bencana. Ini justru bisa mengundang liputan media lebih besar,” lanjutku sambil mulai menjelaskan materi power point yang sudah terpampang di layar.

Diskusi berlanjut, menyerap pikiran dan energiku sepenuhnya pada pertemuan ini. Fokusku teralih sepenuhnya selama 2 jam meeting membicarakan konsep hingga teknis penyelenggaraan event secara detail..

Selamat. Aku berhasil melalui meeting ini dengan lancar dengan mukaku yang kurasa mirip Sadako di film Ring. Klienku sudah pamit karena ada meeting sore di kantornya, sementara aku belum beranjak karena masih mengirimkan beberapa email dulu.

Sebuah lagu mengalun mengisi ruang cafe. Love song for a vampire dari Annie Lennox. Lagu yang memanggil segenap kenangan.

Itu lagu aku buat kamu..

Ada bening yang mengalir di pipiku, tanpa ijin, tanpa permisi, tanpa basa-basi. Aku baru tahu kalau air mata ternyata mirip jalengkung yang suka datang tak diundang.

Ya ampun, menangis sendirian di cafe. Benar-benar kelakuan ABG labil. Memangnya aku ini kelas dua SMP ya? Betul-betul memalukan. Tapi air mataku  terus saja mengalir tanpa bisa direm. Sial.

Ponselku berbunyi. Damn. Ingin rasanya tidak mengangkat. Tapi ini dari wartawan di sebuah media besar. Dan untuk konsultan PR seperti aku, relasi dengan media tentu saja super penting. Tak ayal kuangkat juga telpon itu, sembari susah payah menyamarkan suara bindeng dan serak.

“Iya nih Mas, lagi flu, cuacanya kan akhir-akhir ini begini.”

Pembohong yang payah. Tapi aku tetap paksakan tersenyum sungguhan sambil menjawab telponnya, meyakini bahwa senyum itu bisa ‘terdengar’ oleh lawan bicara di seberang sana.  Pembicaraan tak berlangsung lama. Dia hanya mengonfirmasi jadwal wawancara narasumber yang adalah klienku.

Sisa air mata itu masih berjejak di pipiku. Mengering. Aku tidak begitu peduli riasanku yang luntur. Tadi meeting terakhirku dan aku akan pulang sebentar lagi. Aku melambaikan tangan pada pelayan cafe, meminta bill. Sambil menunggu aku berbenah-benah perlengkapan.

Mas pelayan lain yang datang menghampiriku.

“Sudah Mas?”

Dia malah menyodorkan beberapa lembar tisu.

“Lho ini apa?”

“Dari cowok yang itu Mbak,” jawabnya takut-takut.

Aku membuka lipatan lembaran-lembaran tisu itu.

081355*****

Call Me

HEH? Aku mendelik

“Siapa sih Mas? “ tanyaku penasaran pada Mas yang tadi bertugas sebagai kurir. Ia sudah berjarak sepuluh kaki dariku.

‘Yang itu Mbak..” Dia menunjuk dengan gerakan tanggung-tanggung sambil tetap menjauh.

“Mana?” tanyaku lebih keras. Selintas orang bisa mengira nih cewek kayak mau ngajak berantem.

“Itu,” tunjuk si Mas kurir.

Dia menunjuk seorang pria bertubuh gempal berkemeja batik lengan pendek. Yang ditunjuk malah pura-pura sibuk dengan laptopnya. Ternyata jaraknya cukup dekat, hanya sekitar 2 meja.

Aku meremas tisu. Tidak berminat. Selesai berberes-beres dan mengambil uang kembalian aku langsung berlalu keluar dari cafe itu.

Dugaanku, si pria pengirim tisu itu melihat aku yang sempat menangis.

Do I look that desperate? Sampai dikasih-kasih nomer telpon segala. Sudah itu dia pura-pura nggak lihat lagi. Dasar pria jaman sekarang, nggak punya manner. Aku merutuk-rutuk dalam hati.

Yah, mungkin dalam keadaan nelangsa begini pun aku masih kelihatan menarik. Bukankah itu tadi yang dibilang klienku? Anggap saja benar. Ge-er tak akan berakibat fatal ini.

Aku memanggil taksi biru pertama yang lewat. Menyebutkan arah tujuan, lalu menyandarkan kepala di jok.  Aku memejamkan mata. Lamat-lamat terdengar suara radio di taksi memutar suara Whitney Houston di masa keemasannya.

Didn’t we almost have it all? When love was all we had worth giving?

Oh, kenapa harus lagu ini? Dunia seolah sedang berkonspirasi untuk mengingatkanku kepadanya.

Lagu itu adalah lagu yang aku tujukan untuknya. Lelaki itu, teman baikku selama nyaris 12 tahun, dan kekasihku selama hampir 2 tahun. Kami semestinya bisa menjadi teman hidup yang sempurna. Kami memiliki cinta, kesediaan untuk berubah demi satu sama lain, dan komitmen untuk tumbuh bersama. Hanya satu jurang yang tak mampu kami seberangi.

 “Kamu sih nggak mau kurangin nabi ..”  begitu canda yang kerap ia lontarkan kepadaku.

“Kenapa bukan kamu aja yang nambah?”

“Yang sekarang ada aja udah ribet, tambah satu lagi? Nggak ah,” sahutnya.

Aku terkekeh lalu menggelendot manja di lengannya.

“Kenapa susah, kita tambahkan saja daftar nabi lagi. Mirza Ghulam Ahmad nabinya Ahmadiyah, atau kalau perlu sekalian dengan Lia Aminuddin.”

Dia tertawa, lalu mengecup dahiku. “Aku nggak masalah Nabi apa aja selama masih bisa makan yang enak-enak..”

Aku tersenyum. Hapal betul kegemarannya menyantap daging yang diharamkan untukku sejak lahir. Kukecup pipinya dengan sayang.

“Aku nggak masalah anakku jadi Muslim,” Ia mengacak rambutku. “asal aku yang pilihin guru ngajinya..”

Kami hampir memiliki segalanya. Tapi ‘hampir’ tak akan pernah masuk hitungan.

Air mata kembali datang tiba-tiba. Seperti jalengkung.

****

Sampai hari ini peristiwa dua minggu yang lalu itu masih terputar ulang di kepalaku. Kadang dalam gerakan lambat, kadang dengan warna hitam putih.

Adegan perpisahan kami.

“Waktu kita yang sementara ini sudah waktunya berakhir,” ujar Yudha dengan raut tenang. Iayang kukenal memang seorang pemikir, selamanya menomorsatukan logika daripada perasaan.  Kepiawaiannya mengendalikan emosi dan ekspresi membuatku pernah meledeknya sebagai pembunuh berdarah dingin.

Dan malam ini, raut wajahnya persis seperti itu. Tenang, poker face. Datar. Ya, dia persis pembunuh berdarah dingin yang sedang menjalankan misinya: Mematikan hubungan kami.

“Kenapa mesti sekarang?”  tanyaku tak rela. Airmata sudah membanjiri wajahku.

“Malam ini nggak ada bedanya dengan malam-malam berikutnya.”

“Kalau nggak ada bedanya, kenapa harus sekarang?”

Negosiasi yang sia-sia. Tapi setidaknya aku berusaha.

“Apakah ini karena dia? “ tanyaku. Parau.

“Bukan.bukan karena dia. ”

Benarkah? Hatiku masih tak percaya. Tapi apa bedanya, karena dia atau bukan karena dia, bukankah kami toh tak akan bersama juga?

“Makasih ya buat semuanya, “ ujarnya.

Sungguh, aku tidak tahan dengan ritual perpisahan ini berikut ucapan-ucapan standarnya.’ Terimakasih’  yang diucapkan di akhir sebuah kisah, sama dengan kata tamat. ‘Terimakasih’  karena setelah ini tak ada lagi cerita. Tak ada lagi kita.Dan setelah ini pasti ‘maaf’

“Maafin ya…” ucapannya terhenti.

Tuh benar kan.

“Buat rasa sakit..” ujaran itu datang dari kerongkongan yang serak. Lalu sejurus kemudian ada bening yang mengalir begitu saja dari sudut matanya. Mengubah sama sekali raut mukanya yang sebelumnya mirip penembak misterius itu.

Aku nyaris tak percaya dengan pemandangan di hadapanku. Ia kemudian menggamit lenganku, mengajak kembali ke mobil. Situasi  itu terlalu emosional untuk dikelola di ruang publik. Kami masih menghabiskan sisa malam itu hingga larut. Aku memuaskan diri menangis dalam rengkuhannya. Berharap malam itu tak pernah berakhir.

Berharap kami, tak pernah berakhir.

Adegan itu, berulang-ulang, berputar dalam kepalaku. Dalam sadarku, dalam bunga tidurku.

Aku terbangun ketika matahari telah tinggi dan menjilatiku tanpa permisi. Rasanya aku tidak ingin bangkit dari tempat tidur hari ini. Berniat main petak umpet dengan matahari, lalu tak perlu ditemukan lagi. Tiba-tiba baris lagu lawas The End of The World terlintas di kepalaku.

Kenapa matahari tetap bersinar? Kenapa burung-burung masih berkicau? Kenapa jantungku masih berdetak? Kenapa mesti ada hari Senin? (yang ini tambahan dariku sendiri). Apakah mereka tidak tahu kalau ini akhir dunia buatku?

Hahaha. Aku tak tahan untuk tidak tertawa. Konyol. Hari gini masih patah hati, apa kata dunia?

Aku menyeret langkah, bergerak lambat dengan kepala berat. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku.

May, sudah dimana? Mbak Pretty nanyain.

Dari Sisi, sekretaris kantor. Jempolku bergerat cepat, On the way Si.

Yeah right, on the way ke kamar mandi.

Mungkin sudah waktunya aku mengusulkan cuti patah hati di kantorku. Ada perusahaan market research di Jepang yang sudah memberlakukan aturan ramah perempuan atau yah sebutlah para pecundang cinta ini. Shitsuren kyuka istilahnya, yaitu cuti berbayar bagi para stafnya yang sedang mengalami patah hati. Bagi mereka di awal usia 20-an bisa mengambil cuti satu hari. Yang berusia 20-an akhir  berhak untuk dua hari. Dan yang 30-an, boleh mendapatkan  tiga hari.

Jadi mestinya aku berhak untuk tiga hariku. Ketahuan deh sekarang berapa umurku.

Ini memang kesalahan besar sejak awal. Saat usia memasuki kepala tiga, aku malah memulai suatu hubungan yang tak bermasa depan. Menghabiskan hampir 2 tahun bersama, seperti menutup mata bahwa jalan keluar itu memang tak pernah ada. Curiosity kills the cat, kata peribahasa. Tapi kucing punya sembilan nyawa, kata peribahasa yang lainnya. Dan untuk memenuhi rasa ingin tahuku selama ini, aku tampaknya sudah menghabiskan 10 dari 9 cadangan nyawa yang kupunya.

Alias defisit. Rugi Bandar.

Ponselku berbunyi lagi.

May, rapat mau mulai nih. Gw bilang apa ke Mbak Pretty?

Sisi lagi. Duh, ngomong apa ya? Ingin rasanya bisa langsung menitip usulan, bagaimana kalau kita punya cuti patah hati, yang diberlakukan mulai, hari ini?

Hum, ide buruk.

Iya, gw mungkin telat setengah jam Si. Bilangin maaf ke Mbak Pretty dan habis meeting gw minta sesi khusus untuk ngobrol. Thanks Si.

Aku bergerak cepat memburu waktu. Untung jarak kosku ke kantor hanya 15 menit dengan ojek motor.

Teberkatilah Mbak Pretty, pendiri sekaligus chief executive officer perusahaan konsultan public relation  tempatku bekerja.

Teberkatilah klien-klien kami, untuk kepercayaan dan feed back mereka yang bagus, sehingga di saat bisnis sedang sulit seperti ini, perusahaan masih bisa berjalan.

Teberkatilah rekan-rekan wartawan yang menyenangkan, tak sabaran dan haus berita yang masih tertarik meliput isu yang kami tawarkan.

Perpaduan dari semua itulah yang membuat keterlambatanku ke rapat kali ini bukanlah kiamat.

Mbak Pretty sama sekali tidak memperlihatkan wajah bete kepadaku. Tapi wajahnya tampak letih dan banyak beban. Bisnis akhir-akhir ini memang  kian menantang. Saingan bertambah banyak, sementara anggaran perusahaan untuk aktivitas kehumasan berkurang, terutama sebagian perusahaan yang masih banyak bergantung pada kantor pusat mereka di Amerika Serikat atau Eropa. Kondisi perusahaan kami yang baru berusia lima tahun ini terhitung lumayan, tapi belum bisa dikatakan benar-benar mapan.

Aku minta maaf atas keterlambatanku dengan alasan sakit. Benar kan, aku memang patah hati. Dan salah satu penelitian yang pernah kubaca di Majalah Time menyebutkan bagi otak rasa sakit patah hati  setara dengan sakitnya  patah tulang. Jadi aku nggak terlalu berbohong kan.

Mbak Pretty ternyata hendak bercerita masalah yang lebih besar. Salah satu klien kakapyang sudah tiga tahun ini bekerja sama dengan kami  tak lagi melanjutkan kontrak. Ternyata orang internal mereka baru saja mengundurkan diri dan memutuskan untuk mendirikan konsultan sendiri. Jadilah semua projek perusahaan itu yang biasa kami tangani beralih kepadanya.

Mbak Pretty kemudian berbagi tentang kondisi bisnis terakhir yang memang sedang banyak menghadapi tantangan. Waktunya untuk aktif menawarkan proposal dan program ke berbagai perusahaan juga.

“Aku berharap kamu bisa lebih fokus untuk saat-saat sekarang ini. Setelah Arya resign, kamu andalanku nomer satu lah,” ujarnya lagi.

Arya adalah senior associate di kantor kami, yang baru mengundurkan diri tiga bulan lalu. Sejak dia pindah menjadi PR internal korporasi, banyak tanggung jawabnya yang dialihkan kepadaku. “Kompensasinya pasti ada May, tapi lebih dari itu, aku percaya kamu juga merasa memiliki perusahaan ini. I trust you,” kata Mbak Pretty..

Dan dalam dua hari lagi ada presentasi penting yang mesti aku lakukan di depan calon klien potensial. Mbak Pretty sudah terlanjur ada pertemuan penting dengan klien di Singapura, hingga aku lah yang harus menanganinya.

 

Aku menghela nafas dan mengangguk, sambil tetap menunjukkan wajah yang optimistis. Aku tidak mungkin mengecewakan dirinya. Buatku Mbak Pretty lebih dari sekadar bos. Dia mentor dan figur pengusaha yang aku kagumi. Pemimpin yang menginspirasi.

Aku keluar dari ruangannya dengan perasaan dua kali lebih berat. Wajahku pias dan kantung mataku menghitam. Kepada teman-teman yang bertanya, aku selalu menjawab sedang sakit, tidak enak badan, atau pre menstruation syndrome. Enak juga jadi perempuan, selalu bisa mengkambing hitamkan sakit bulanan.

Seharian itu,  aku malas beranjak bahkan untuk makan siang..Mungkin patah hati memang mirip patah tulang, bikin kita sulit bergerak.

“Mbak Maya, kok makannya nggak dihabiskan?” sapa Pak Supri, Office Boy di kantor kami. Matanya yang belok tampak semakin besar.

“Eh, iya Pak, kekenyangan. Tadi kan saya pesan setengah aja nasinya.”

“Lah itu kan udah setengah Mbak, biasanya juga segitu kok..”

Hum.. aku merasa bersalah tidak menghabiskan makanan di saat banyak orang kesulitan makan. Tapi bagaimana dong, segitu saja aku sudah mati-matian menghabiskannya. Akhir-akhir ini aku betul-betul susah rasanya menelan makanan. Kegiatan makan itu hanya semata-mata untuk menyambung hidup saja.

Ketika Pak Supri berlalu aku kembali memelototi layar monitor. Otakku buntu. Padahal aku hanya punya waktu kurang dari 2 hari mempersiapkan presentasi yang ditugaskan Mbak Pretty kepadaku.

Ayolah May, hidup tidak menunggu kamu. Desisku, nyaris murka pada diri sendiri.

Ponselku berbunyi. Kulirik dengan malas, namun kemudian mengangkat dengan semangat ketika tahu siapa yang menghubungiku. Rena, sahabatku sang wartawan majalah kesehatan dan gaya hidup. Ia juga sahabat Yudha. Kami bertiga satu kampus dan berteman baik sejak dulu.

“May, masih macam ikan maskoki matamu ya?”  ujarnya langsung.

Rena mengenalku lebih baik daripada siapapun.

“Ayolah kencan kita. Kutraktir kau,” ajaknya.

Kami merancang janji. Sore hari setelah presentasi pentingku. Yang aku pun belum tahu mesti menyampaikan apa.

. *********

Jangan percaya Jason Mraz. Percayalah padaku, It’s not lucky to be in love with your best friend. Ketika kalian berpisah, kamu kehilangan dua orang sekaligus. Kekasihmu dan sahabatmu.

Itulah yang terjadi kepadaku. Setelah perpisahan kami, aku belum berhasil mengiklaskannya.  Dan hasilnya, kami pun sulit bersahabat lagi.

Aku gagal berbahagia untuknya yang segera mendapatkan pengganti diriku. Yang tak akan meresahkan kedua orangtuanya. Yang tak perlu mengurangi nabi. Yang bisa menyantap daging favoritnya,yang tak halal untukku.

Aku memang salah berhitung. Terlalu optimis menimbang kekuatan sendiri. Aku tahu konsekuensinya, tapi ‘tahu’ dan ‘mengalami’ ternyata dua hal yang berbeda. Dan aku tak pernah menyangka ternyata sesakit ini jadinya.Mungkin seperti pemain debus yang gagah berani menelan api, tanpa menyadari ia belum tamat kelas kekebalan.

Aku menyesal kamu tidak tahu konsekuensinya, tapi aku tidak menyesali hubungan kita. It’s over  I’m moving on. I hope you’re moving on

Mudah baginya bicara begitu. Mudah baginya untuk melanjutkan hidup. Harusnya juga mudah untukku. Andainya juga mudah untukku.

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Aku masih berjuang menuntaskan materi presentasiku besok.

“Proyek itu sangat penting buat kita. Setidaknya bisa menyambung hidup perusahaan sampai tahun depan, sementara masih ada beberapa kemungkinan yang bisa kita jajaki,” ujar Mbak Pretty saat pertemuan terakhir kami. “Bagaimanapun, kita upayakan sedapat mungkin, jangan sampai ada perampingan. Aku percaya padamu,”

“Ok, Mbak. I’ll do my best,” jawabku dengan suara yang kumantap-mantapkan.

. “I know.”

Aku merutuki diri sendiri. Kenapa belum bisa melupakan sakit hati karena perpisahan itu? Kenapa masih sulit menerima dia berhubungan dengan orang lain? Kenapa usia mentalku seperti berhenti di umur 15 tahun?

Potongan-potongan percakapan kami, hadir memberati pelupuk mata. Hari di mana kami memutuskan untuk menjalin hubungan tanpa muara.

“Seandainya situasinya berbeda, seandainya….” kalimatnya terhenti dalam gumam tak kentara.

Ia mengeratkan genggaman tangannya. Aku menyandarkan kepala di bahu kanannya. Berpasrah pada gelombang perasaan.

“Tapi kita tak akan kemana-mana juga..Dan saat waktunya tiba, bagaimana mengakhirinya?” tanyaku.

“Aku akan mengakhirinya dengan cara paling manis yang bisa dilakukan,” ujarnya serupa ikrar,

Namun tak pernah ada cara termanis untuk berpisah. Tak akan pernah.

Tuhan, aku tidak tahu bagaimana caranya menghadapi presentasi besok. Nasib perusahaan ini sedikit banyak berada di bahuku. Terbayang wajah-wajah orang di kantor, dari mulai Mbak Pretty, semua rekan-rekanku di kantor, sampai mata belok dan muka polos Pak Supri.

Ingin rasanya bersembunyi di bawah selimut, berhibernasi selama 6 bulan, melewati semua masa-masa sulit ini.

Aku mematikan laptopku karena sudah tak tahu mesti menambahkan apa lagi untuk menyempurnakan presentasiku. Perjuangan berikutnya, berusaha tidur.

Dan berharap Yudha tak mampir di mimpiku malam itu.

***********

“Untunglah hatimu yang patah, May. Bukan jantungmu..” ucap Rena. Ia tertawa renyah memamerkan giginya yang putih rapi. Gurauan khas wartawan majalah kesehatan kerap muncul di sela percakapan kami.

Sore itu kami jadi berkencan. Rena adalah jaring pengamanku yang siap menangkapku kala ku jatuh. Selalu.

“Maksudmu Ren?”

“Ya iyalah, patah hati dalam bahasa Inggrisnya, broken heart.  Heart dalam bahasa Indonesia itu jantung kan? Kalau jantung sudah patah, jauh lebih repot masalahnya. Beda dengan hati. Hati adalah organ yang bisa meregenerasi dirinya sendiri May.”

“Oiya?”

“Iya, hati dapat meregenerasi diri dalam waktu 150 hari. Bahkan, jika 70% hati seseorang dipotong, hati mampu kembali ke ukuran normal sampai dengan 90% dalam waktu dua bulan,” jelas Rena.

“Tapi ada yang namanya sirosis, kerusakan hati yang sudah sangat parah kan?” bantahku.

Rena mengangguk. “Iya memang dalam kondisi itu hatimu tak bisa meregenerasi diri. Tapi kau bisa mendapatkan transpalantasi hati dari donor hidup. Dan hati sang donor akan kembali utuh dalam waktu tiga bulan. “ sahutnya ringan. “kalau jantung, mana mungkin?”

“Jadi jangan khawatir kau. Bukan kebetulan nenek moyang kita menamakan fenomena itu sebagai ‘patah hati’ dan bukan ‘patah jantung’. Mereka lebih bijak dari moyang banyak bangsa lain di dunia yang menggunakan jantung sebagai analogi. Mereka tahu bahwa hati, selalu bisa meregenerasi diri. “ Rena merangkulku dan menepuk bahuku perlahan.

Mau tak mau aku tersenyum mencerna candanya, yang mungkin mengandung unsur kebenaran juga. Entahlah.

Ponselku bergetar. Pesan singkat dari Mbak Pretty.

Proficiat Maya, This company is so proud of you.I AM so proud of you. We should celebrate this.

Ia menanggapi laporanku tentang hasil presentasiku siang tadi. Aku, entah bagaimana bisa melakukan presentasi itu dengan baik, dan kami berhasil mendapatkan projek itu. Mereka bahkan merencanakan kontrak untuk dua tahun sekaligus karena tertarik dengan konsep yang aku tawarkan.

Hanya Tuhan dan mungkin setan yang tahu, bagaimana aku bisa melalui presentasi itu dengan gemilang. Tadi pagi, dalam kondisi lelah karena tidur yang tak pernah nyenyak, aku hanya bisa berdoa :

Tuhan, kalau pun Kau nggak sayang aku, setidaknya tolong sayang Pak Supri. Jadi, tolonglah dukung presentasiku dengan cara apapun yang Kau mau.

Sepertinya Tuhan memang sayang Pak Supri. Atau mungkin, Tuhan juga sayang aku.

“Kita harus rayakan keberhasilanmu hari ini May! Makan yang banyak,sudah macam tengkorak kau!” ledek Rena.

“Ren..”

“Hum?”

“Semoga aku nggak ‘sirosis’ ya..”

“Hahaha, nggak lah. Kalaupun iya, kita cari “donor hati” yang keren! Kok repot!’

Aku  terbahak. Lalu mengangkat gelasku untuk mengajak Rena melakukan cheers, “Untuk para moyang kita yang bijak yang menjadikan hati  sebagai analogi rasa! “

Rena menempelkan gelasnya, menimbulkan denting di udara. “Untuk “donor hati” yang ganteng, pintar dan  lebih segalanya dari Yudha..”

“Hahaha, Amin!”

“Cheers!”

Kami tertawa bersama.

Jauh di dalam tubuhku , masih kurasakan luka hati yang nyeri tak terperi. Kubayangkan, ia sedang berjuang meregenerasi diri. Bersabarlah hatiku. Tak lama lagi, pasti.

Writings

cerpen fiksi

Published June 28th, 2014 by febyindirani

Jerawat

Ini cerita sebuah cermin yang setia, yang puluhan tahun mendengarkan kisah-kisah seorang dara. Ia terlanjur jatuh cinta, pada raut parasnya, pada setiap lekuk liku tubuhnya, dan pada nafasnya yang mengembun di kaca.

Jika kau berharap  cermin ini laki-laki dan bahwa akan terjalin cerita cinta antaranya dan sang dara, kau mungkin akan kecewa. Karena cermin tidak berjenis kelamin., sebagaimana cinta.

Cermin kini sedang bersaling tatap dengan sang dara dan bertanya-tanya tanpa suara :Benarkah  jerawat ranum di pipimu yang  membuatmu gelisah?

 

Segala macam obat pernah dicoba untuk menghilangkannya. Tapi toh selama sebulan ini sang jerawat tetap memilih untuk bertahta dengan manis di wajahnya yang biasa mulus itu. Annisa  menghela napas, mencoba bersikap demokratis. Bahkan pilihan sebuah jerawat pun layak untuk dihargai bukan?

Bercermin, Nisa mengusap jerawat dengan ujung telunjuknya. Gelisah. Dan jerawat memang sudah terlalu biasa jadi kambing hitam kegelisahan para perempuan. Kasihan memang jerawat itu. Tapi bagaimana lagi, perempuan memang dikondisikan harus selalu tampil cantik dan  jerawat  hanya mengganggu penampilan saja. Apalagi di saat-saat yang  penting dan harus bertemu orang banyak. Dan bukankah Nisa besok akan menikah? Bertemu orang banyak, pasti. Tapi sebentar, benarkah itu penting?

Annisa membaringkan tubuh rampingnya di ranjang harum melati. Kasur yang sudah ditidurinya hampir seusianya yang 29 tahun ini telah disulap menjadi ranjang pengantin yang tak terlalu mewah memang, tapi manis. Dan wangi melati selalu terlalu harum untuk ditampik. Tubuhnya terlentang menghirup partikel-partikel udara sambil menatapi langit-langit yang gelisah.

Besok.  Mendadak  ia ingin meloncati satu hari itu. Hai kamus-kamus seluruh dunia, tolong hapuskan sebentar kata ‘besok’ dalam lembaranmu..

Atau kenapa kiamat tidak datang besok saja? Mungkin segalanya bakal menjadi lebih mudah. Tak perlu ada yang sakit hati. Tak perlu ada yang merugi. Tak perlu ada pengantin jerawatan.

Satu menit yang mengubah segalanya, desis Nisa sambil mengelus jerawatnya yang membuncah.

Secepat itukah? Semudah itukah? Dengan sederet kata ijab kabul yang  lebih kurang satu menit itu, seluruh hidupnya akan berubah. Ia bukan lagi Nisa yang bebas melakukan apapun yang ia inginkan, pergi kemana pun ia mau, terlebih lagi dengan siapapun yang ia suka.

Satu menit, dan tiba-tiba saja ia harus berbagi hampir segala hal dengan seseorang yang katanya suaminya. Bahkan seluruh dunia seolah menghalalkan lelaki itu jadi punya hak bercinta kapan saja dengannya, punya hak untuk melarangnya  pergi bahkan ke rumah orang tuanya sendiri, punya hak untuk melarangnya  berpuasa sunnah  sekalipun!

Kemerdekaanku jadi lebih terbatas daripada sebuah jerawat?

Bah, sial betul!

 

          Jam dinding  itu masih berdetak seirama detak jantungnya….pukul 23.04.

Nisa menatap dirinya..yang ragu akan bayangannya sendiri. Bukankah itu hanya cermin yang setia memantulkan apa saja? Apakah kemerdekaan cermin ini setingkat jerawat ataukah hanya setingkat dirinya?

 

“Kenapa orang harus menikah Ibu?” tanya Nisa suatu ketika. Ibu pasti orang yang tepat untuk ditanyainya tentang hal itu. Usia pernikahannya sudah puluhan tahun. Pasti ada sesuatu  hingga dua orang mau bertahan sedemikian lama di dalam sebuah perkawinan. Dan seorang Ibu dengan rentang usia 25 tahun darinya pasti sudah mengalami begitu banyak hal yang memperkaya hidup. Meski tak jarang juga Nisa berseteru pendapat dengannya  namun seorang anak perempuan tak mungkin melewatkan kegelisahan sebesar itu tanpa bertanya pendapat ibunya, meski untuk kembali membantahnya.

“Untuk teman hidup kita, Nis.  Ketika masih muda mungkin belum terlalu kau rasakan. Teman masih banyak, kegiatan masih banyak. Tapi ketika kau sudah merambati ujung usiamu, akan kau sadari betapa kau membutuhkan teman hidup yang sebenarnya. Sementara semua orang  sudah sibuk dengan kehidupan berkeluarganya, baru  kamu akan menyadari betapa kesepiannya kamu. ”Ibunya berkata serius, mirip petuah, kemudian mengakhirinya dengan geleng-gelengan kepala. Kamu ini ono-ono wae toh nduk

Oo, jadi kita menikah supaya kita tak kesepian, Ibu? Protes Nisa, yang hanya berani diungkapnya dalam hati kali ini. Apakah satu-satunya cara untuk menghalau kesepian hanya dengan menikah?

Bukankah sekian banyak perempuan malah jadi orang  paling kesepian setelah menikah. Sekian banyak suami  tak begitu ikhlas jika istrinya banyak bekerja di luar rumah. Akhirnya istri-istri harus diam di rumah. Mengurus urusan dalam katanya. Berdandan cantik menanti sang suami pulang bekerja.  Istri harus jadi ratu rumah tangga . Ratu rumah tangga atau pembantu rumah tangga ? Kadang agak tipis bedanya.

“Kenapa Kakak menikah?” tanya Nisa lain waktu pada kakaknya yang saat itu sedang hamil 5 bulan. Kakak yang sempat menyerahkan seluruh dunia dan cintanya pada seorang laki-laki yang katanya suaminya.

“Kenapa yah? Aku sendiri nggak  pernah mempertanyakan itu. Kenapa kita harus menikah? Yah bagiku itu sama saja dengan menanyakan kenapa kita harus makan, minum, tidur dan lain-lain. Kita  menikah karena kita memang harus menikah seperti juga halnya kita harus makan, kenapa harus ditanyakan?”

Nisa meninggalkan kakaknya yang jadi tertegun-tegun. Kecerewetan adik semata wayang yang mengusik kenyamanan. Kenyamanan orang-orang dewasa untuk melakukan hal-hal yang dilakukan hampir semua orang, tanpa perlu banyak bertanya. Tanpa perlu banyak protes. Seolah pernikahan hanya semacam kentut yang harus terjadi demi lancarnya metabolisme tubuh.

Toh lewat setahun lepas, kakaknya lantas seperti terbangun. Ketika suami yang sangat dicintainya itu diketahuinya  berselingkuh dengan seorang peragawati saat perutnya kian buncit mengandung benih cinta mereka. Nisa hanya bisa menangisi kakaknya yang sering jadi histeris setiap mengingat perselingkuhan yang menurut suaminya sudah berakhir itu.

Perselingkuhan yang selalu jadi bom waktu meski pernikahan mereka tetap berlangsung hingga kini. Hingga Nisa akan memasuki keasingan yang sama bernama pernikahan. Dengan seseorang yang sama asingnya dengan pernikahan itu sendiri : Arman, seorang pria baik-baik dengan hidup tertib sesuai undang-undang dasar 1945, berusia 35 tahun. Pilihan ibunya. Mungkin kalau satu saat nanti pun Arman berselingkuh, Nisa akan membiarkannya saja.  Peduli apa?

 

          Wajah muram itu masih menatap kosong pada cermin.  Sepi. Hanya suara kodok berebut mangsa yang didengarnya.

 

“Kenapa kau ingin  menikah, Ko?” tanya Nisa  satu waktu pada seorang teman lelakinya satu organisasi kampus. Lelaki yang diam-diam dikagumi Nisa karena sosoknya yang cerdas dan lugas. Saat itu Nisa merasa yakin Iko adalah sosok yang tepat untuk ditanyakan hal seperti itu. Pertanyaan yang mungkin buat orang kebanyakan terdengar aneh dan mengada-ada.

“Karena aku ingin melahirkan generasi yang kuat” jawab Iko dengan gayanya yang khas seperti biasa. Dingin dan sok acuh yang oleh banyak orang cenderung ditafsirkan sebagai pongah. Kepulan rokok menghembus dari bibirnya, menebar hawa kretek di kamar kos Iko yang sempit dan tak teratur.

“Kalau Tuhan tak berkenan memberimu anak?”desak Nisa, tak lepas menekuni garis-garis tegas wajah Iko yang terbingkai rambut ikal sebahu.

“Adopsi saja, susah amat!”sahutnya ringan. Tak lama pemuda Batak itu kembali duduk di depan komputer dan mulai sibuk menekan tuts keyboard, entah mengetik apa.

Lalu, buat apa menikah,Ko? Desis Nisa dalam hati. Langsung saja adopsi anak.  Toh  akan selalu ada  anak-anak yang kehilangan bapak ibunya dan butuh kasih sayang kita.

Bila begitu Nisa lebih memilih mengajar  anak-anak jalanan dan panti asuhan itu. Banyak yang bisa dilakukannya, dari mulai berhitung, menyanyi sampai mengkaji. Ia akan berbagi dengan anak-anak itu tentang hal-hal  yang diketahuinya tentang hidup ini. Apa lagi yang lebih memberikan kepuasan  selain menyadari bahwa kita punya  peranan dalam proses bertumbuhnya sebuah generasi? Seperti menanam bunga di taman kita. Menyiraminya. Memupukinya. Bernyanyi untuknya. Membiarkannya tumbuh dari waktu ke waktu dan memandanginya dengan takjub penuh rasa syukur. Bersyukur bahwa bunga-bunga itu satu saat akan bertebaran di muka bumi dan bisa kembali berbagi keindahan buat orang lain. Bukankah demikian cinta yang seutuhnya?Cinta yang bisa dibagi buat siapa saja dan tak hanya monopoli dua orang dalam pranata bernama pernikahan.

“Satu pertanyaan  Mas,  kenapa?” tanya Nisa pada Ton ketika semburat matari sore itu halus membelai pipinya, 5 tahun lalu.

“Simple. Karena aku mencintaimu.Itu saja.”

Cinta, huh, itu lagi, keluh Nisa dengan mulut terkatup. Cinta sudah mirip kacang goreng. Sedikit-sedikit bicara cinta.

“Aku pikir aku juga mencintaimu”jawab Nisa nyaris tak terdengar. Ya, lagi-lagi cinta. Kadang Nisa sendiri jadi bingung apa artinya. Kenapa dia pun mulai bicara cinta tanpa mengamininya?

“Lalu apa masalahnya, Nisa. Bukankah kita saling mencintai?” desak Ton terdengar putus asa.

“Tapi kenapa harus menikah Mas, kenapa? Dari sekian banyak cara untuk menjalani kehidupan ini, dari sekian banyak cara untuk saling mencintai dan mengeksplorasi cinta itu, kenapa harus menikah? Apakah kau harus menikahi semua orang yang  kau cintai?”

Nisa merekam ekspresi wajah  Ton yang tergugu.

Ini kali ketiga Ton membicarakan tentang hal ini dan biasanya ia selalu dengan sukses berkelit dari segala macam kewajiban menjawab. Namun usia Ton  sudah merambat 33 tahun dan orangtuanya sudah mendesaknya untuk segera menikah. Sementara Nisa yang  24 tahun—yang dalam ukuran umum patut-patut saja bahkan sudah seharusnya memikirkan pernikahan— merasa sangat terganggu dengan pembicaraan-pembicaraan serupa itu. Bukan karena tak mencintai Ton, tapi karena ia merasa belum selesai dengan dirinya sendiri. Selama Nisa belum menemukan alasan yang paling masuk akal dalam ukuran rasionalitas keras kepalanya itu, ia sudah bertekad tak kan kawin.

Akhirnya, setelah pertengkaran-pertengkaran melelahkan, mereka berpisah.

“Nggak perlu minta maaf, Ton. Kamu lelaki dewasa. Kamu sudah memilih dengan berbagai pertimbangan akal sehatmu. Aku percaya kamu juga siap dengan segala konsekuensi dari pilihan-pilihanmu itu”.

“Kamu nggak apa-apa kan, Nis?”

Dikatupkannya bibirnya rapat-rapat. Do I look all right?  Mengapa pria kadang bisa begitu bodoh ? Apakah mereka jarang belajar menangkap getar-getar halus dalam diam?  Diam seorang perempuan pula. Bukankah dalam diamnya,  kaum yang kerap terbisukan sistem  justru tetap mampu mengungkapkan  lebih banyak dengan caranya sendiri?

Dihelanya nafas dalam-dalam. Hening. Dan suara gemetar  miliknya yang asing entah mirip suara siapa.

“Aku akan baik-baik.  Aku pun perempuan dewasa yang harus siap dengan segala konsekuensi dari pilihan-pilihan aku, Ton”.

 

LEPAS dari hubungannya dengan Ton, Nisa akhirnya memutuskan mengeksplorasi hidup dengan cara yang dipilihnya sendiri. Belajar memaknai hidup dari orang-orang yang beragam-ragam. Waktu berlalu. Lelaki-lelaki  silih berganti dalam kehidupannya. Lalu lalang membawakan rangkai bunga.

Mawar, melati, anyelir, anggrek dan entah apa lagi. Lalu apa bedanya? Toh, semua kembang di dunia ini bakal jadi sama saja bila kita tak pernah punya waktu untuk memaknainya.

Laki-laki. Pria. Cah lanang. Apa bedanya? Di mata Nisa akhirnya mereka tak lebih dari bocah-bocah dalam tubuh lelaki dewasa. Mengapa harus melamar Nisa kalau tidak tahu kenapa  harus menikah?

Kenapa harus menikah? Haruskah ada cetak biru yang sama bagi setiap orang di dunia ini? Manusia lahir, tumbuh besar masuk sekolah, lulus,  cari kerja, cari jodoh, kawin. Punya anak, ngurus anak. Sudah. Bila beruntung, sempat menimang cucu. Dan tak lama, mati. Haruskah hidup berjalan seperti itu? Bah, Mekanis betul!

 

          Pukul  00.01. Nisa bangkit kembali. Mengurai rambutnya seperti memburai tirai dan kembali duduk di depan cermin. Merasa dirinya mirip gadis gelisah yang kerap bertanya pada cerminnya,. Cermin, cermin di dinding apakah cara untuk bahagia?

 

Menikah, untuk apa? Desis Nisa. Yang ia tahu detik ini, menikah hanya untuk membahagiakan ibunda. Menikah untuk menepis gosip di keluarga besar bahwa dirinya lesbian, gosip yang sebetulnya tak terlampau merisaukannya pun.  Menikah karena keluarganya berutang budi banyak kepada keluarga Arman  tapi mau tidak mau mesti diakuinya, amat baik kepadanya.

“Itu memang tugas perkembangan kita Nis!” kata Fani temannya yang saat itu masih jadi mahasiswa Psikologi  tingkat akhir, suatu ketika sambil bicara teori-teori psikologinya.

“ Pada setiap tahap perkembangan, manusia mempunyai tugas-tugas yang penting dan harus dijalaninya. Dan untuk tingkat dewasa awal, pernikahan adalah salau satu tugas perkembangannya. Kalau tidak terpenuhi kemungkinan akan menghambat tahap perkembangan berikutnya” lanjut Fani

Ah itu kan teori! seru Nisa tersekat.  Teori dibuat dari penelitian terhadap realita tertentu. Padahal realita itu saja selalu berubah. Berkembang. Seperti semesta yang terus menerus memuai. Realita manusia pasti berubah. Bisa jadi dalam konteks kekinian, pernikahan tidak akan banyak gunanya. Tidak akan banyak berguna meningkatkan kualitas kemanusiaan di dunia. Begitu tesis Nisa akhirnya.

Tapi bagaimana bisa membantah pinta ibunda? Ibu tak pernah bisa memahami dan karenanya tak bisa mengikhlaskan ketika Nisa datang padanya, memohon restu entah untuk ke berapa puluh kali untuk bergabung dalam sebuah organisasi internasional untuk menjadi relawan kemanusiaan di daerah-daerah konflik seluruh dunia.

Anak perempuan, luntang-luntung keliling dunia??

Bukankah sebuah ide yang sangat menantang, Ibu? tanya Nisa. Bulan depan mungkin ia akan berada di Bosnia dan bulan depannya lagi sudah meluncur ke Palestina.

“Tidak, nduk. Kamu akan menikah bulan depan. Kamu tahu usia ibu mungkin tidak lama lagi dan ibu tidak bisa tenang sampai melihat kamu menikah. Kamu sudah mau 30 nduk. Ndak punya pacar, ndak jelas juntrungannya. Keluarga besar sudah prihatin sekali dengan kondisi kamu, nduk. Kami sudah menyiapkan calon buatmu dan akan mengurus semuanya. Kamu mesti nikah. “ tegas ibunya sambil menangis.

Benarkah semakin tua seseorang semakin berkurang kemampuannya untuk mentoleransi kebenaran di luar dirinya?

Nisa merasa betul-betul letih. Letih bertengkar, letih membantah, letih beralibi. Adakah mencerabut diri dari pinta orang yang sudah melahirkan dan membesarkan kita adalah durhaka?

Duhai durhaka, mengapa kau jatuh hati pada bahagiaku?

 

          Cermin, cermin di dinding. Kemana itu bahagia?

 

Di hadapan cermin yang setia itu Nisa akhirnya menorehkan sebuah kata maaf. Tidak ada seorang pun yang bisa memaksakan bahagia yang bukan miliknya. Tidak siapapun juga.

 

          Pukul 04.06. Pipi perempuan itu terbentur kusen jendela karena gugup akan pelariannya. …Saat itu, jerawat ranumnya pecah.

 

Kalau kau mendengar gelak kecil di ujung cerita, itulah tawa cermin yang ceria. Hanya, jangan terkejut bila kaca itu kelihatan mengembun oleh air mata. Karena kabarnya: sukacita hanyalah dukacita yang terbuka topengnya.

Writings

cerpen fiksi

About Me

Feby Indirani, Penulis,Jurnalis, meraih Anugerah Pembaca Indonesia 2010 kategori non fiksi untuk bukunya I can (not) Hear: Perjalanan anak tuna rungu menuju dunia mendengar . Penikmat pagi hari, perjalanan dan percakapan. Penggemar buku, film dan tidur lelap. Lebih banyak tentangnya bisa dilirik di febyindirani.com atau ocehan yang kadang penting di akun twitternya @FebyIndirani

Search

Recent Posts

  • BUKAN PERAWAN MARIA
  • THE WOMAN WHO LOST HER FACE
  • RUANG TUNGGU
  • TANDA BEKAS SUJUD
  • RENCANA PEMBUNUHAN SANG MUAZIN

Recent Comments

    febyindirani.com 2014