Ini cerita sebuah cermin yang setia, yang puluhan tahun mendengarkan kisah-kisah seorang dara. Ia terlanjur jatuh cinta, pada raut parasnya, pada setiap lekuk liku tubuhnya, dan pada nafasnya yang mengembun di kaca.
Jika kau berharap cermin ini laki-laki dan bahwa akan terjalin cerita cinta antaranya dan sang dara, kau mungkin akan kecewa. Karena cermin tidak berjenis kelamin., sebagaimana cinta.
Cermin kini sedang bersaling tatap dengan sang dara dan bertanya-tanya tanpa suara :Benarkah jerawat ranum di pipimu yang membuatmu gelisah?
Segala macam obat pernah dicoba untuk menghilangkannya. Tapi toh selama sebulan ini sang jerawat tetap memilih untuk bertahta dengan manis di wajahnya yang biasa mulus itu. Annisa menghela napas, mencoba bersikap demokratis. Bahkan pilihan sebuah jerawat pun layak untuk dihargai bukan?
Bercermin, Nisa mengusap jerawat dengan ujung telunjuknya. Gelisah. Dan jerawat memang sudah terlalu biasa jadi kambing hitam kegelisahan para perempuan. Kasihan memang jerawat itu. Tapi bagaimana lagi, perempuan memang dikondisikan harus selalu tampil cantik dan jerawat hanya mengganggu penampilan saja. Apalagi di saat-saat yang penting dan harus bertemu orang banyak. Dan bukankah Nisa besok akan menikah? Bertemu orang banyak, pasti. Tapi sebentar, benarkah itu penting?
Annisa membaringkan tubuh rampingnya di ranjang harum melati. Kasur yang sudah ditidurinya hampir seusianya yang 29 tahun ini telah disulap menjadi ranjang pengantin yang tak terlalu mewah memang, tapi manis. Dan wangi melati selalu terlalu harum untuk ditampik. Tubuhnya terlentang menghirup partikel-partikel udara sambil menatapi langit-langit yang gelisah.
Besok. Mendadak ia ingin meloncati satu hari itu. Hai kamus-kamus seluruh dunia, tolong hapuskan sebentar kata ‘besok’ dalam lembaranmu..
Atau kenapa kiamat tidak datang besok saja? Mungkin segalanya bakal menjadi lebih mudah. Tak perlu ada yang sakit hati. Tak perlu ada yang merugi. Tak perlu ada pengantin jerawatan.
Satu menit yang mengubah segalanya, desis Nisa sambil mengelus jerawatnya yang membuncah.
Secepat itukah? Semudah itukah? Dengan sederet kata ijab kabul yang lebih kurang satu menit itu, seluruh hidupnya akan berubah. Ia bukan lagi Nisa yang bebas melakukan apapun yang ia inginkan, pergi kemana pun ia mau, terlebih lagi dengan siapapun yang ia suka.
Satu menit, dan tiba-tiba saja ia harus berbagi hampir segala hal dengan seseorang yang katanya suaminya. Bahkan seluruh dunia seolah menghalalkan lelaki itu jadi punya hak bercinta kapan saja dengannya, punya hak untuk melarangnya pergi bahkan ke rumah orang tuanya sendiri, punya hak untuk melarangnya berpuasa sunnah sekalipun!
Kemerdekaanku jadi lebih terbatas daripada sebuah jerawat?
Bah, sial betul!
Jam dinding itu masih berdetak seirama detak jantungnya….pukul 23.04.
Nisa menatap dirinya..yang ragu akan bayangannya sendiri. Bukankah itu hanya cermin yang setia memantulkan apa saja? Apakah kemerdekaan cermin ini setingkat jerawat ataukah hanya setingkat dirinya?
“Kenapa orang harus menikah Ibu?” tanya Nisa suatu ketika. Ibu pasti orang yang tepat untuk ditanyainya tentang hal itu. Usia pernikahannya sudah puluhan tahun. Pasti ada sesuatu hingga dua orang mau bertahan sedemikian lama di dalam sebuah perkawinan. Dan seorang Ibu dengan rentang usia 25 tahun darinya pasti sudah mengalami begitu banyak hal yang memperkaya hidup. Meski tak jarang juga Nisa berseteru pendapat dengannya namun seorang anak perempuan tak mungkin melewatkan kegelisahan sebesar itu tanpa bertanya pendapat ibunya, meski untuk kembali membantahnya.
“Untuk teman hidup kita, Nis. Ketika masih muda mungkin belum terlalu kau rasakan. Teman masih banyak, kegiatan masih banyak. Tapi ketika kau sudah merambati ujung usiamu, akan kau sadari betapa kau membutuhkan teman hidup yang sebenarnya. Sementara semua orang sudah sibuk dengan kehidupan berkeluarganya, baru kamu akan menyadari betapa kesepiannya kamu. ”Ibunya berkata serius, mirip petuah, kemudian mengakhirinya dengan geleng-gelengan kepala. Kamu ini ono-ono wae toh nduk
Oo, jadi kita menikah supaya kita tak kesepian, Ibu? Protes Nisa, yang hanya berani diungkapnya dalam hati kali ini. Apakah satu-satunya cara untuk menghalau kesepian hanya dengan menikah?
Bukankah sekian banyak perempuan malah jadi orang paling kesepian setelah menikah. Sekian banyak suami tak begitu ikhlas jika istrinya banyak bekerja di luar rumah. Akhirnya istri-istri harus diam di rumah. Mengurus urusan dalam katanya. Berdandan cantik menanti sang suami pulang bekerja. Istri harus jadi ratu rumah tangga . Ratu rumah tangga atau pembantu rumah tangga ? Kadang agak tipis bedanya.
“Kenapa Kakak menikah?” tanya Nisa lain waktu pada kakaknya yang saat itu sedang hamil 5 bulan. Kakak yang sempat menyerahkan seluruh dunia dan cintanya pada seorang laki-laki yang katanya suaminya.
“Kenapa yah? Aku sendiri nggak pernah mempertanyakan itu. Kenapa kita harus menikah? Yah bagiku itu sama saja dengan menanyakan kenapa kita harus makan, minum, tidur dan lain-lain. Kita menikah karena kita memang harus menikah seperti juga halnya kita harus makan, kenapa harus ditanyakan?”
Nisa meninggalkan kakaknya yang jadi tertegun-tegun. Kecerewetan adik semata wayang yang mengusik kenyamanan. Kenyamanan orang-orang dewasa untuk melakukan hal-hal yang dilakukan hampir semua orang, tanpa perlu banyak bertanya. Tanpa perlu banyak protes. Seolah pernikahan hanya semacam kentut yang harus terjadi demi lancarnya metabolisme tubuh.
Toh lewat setahun lepas, kakaknya lantas seperti terbangun. Ketika suami yang sangat dicintainya itu diketahuinya berselingkuh dengan seorang peragawati saat perutnya kian buncit mengandung benih cinta mereka. Nisa hanya bisa menangisi kakaknya yang sering jadi histeris setiap mengingat perselingkuhan yang menurut suaminya sudah berakhir itu.
Perselingkuhan yang selalu jadi bom waktu meski pernikahan mereka tetap berlangsung hingga kini. Hingga Nisa akan memasuki keasingan yang sama bernama pernikahan. Dengan seseorang yang sama asingnya dengan pernikahan itu sendiri : Arman, seorang pria baik-baik dengan hidup tertib sesuai undang-undang dasar 1945, berusia 35 tahun. Pilihan ibunya. Mungkin kalau satu saat nanti pun Arman berselingkuh, Nisa akan membiarkannya saja. Peduli apa?
Wajah muram itu masih menatap kosong pada cermin. Sepi. Hanya suara kodok berebut mangsa yang didengarnya.
“Kenapa kau ingin menikah, Ko?” tanya Nisa satu waktu pada seorang teman lelakinya satu organisasi kampus. Lelaki yang diam-diam dikagumi Nisa karena sosoknya yang cerdas dan lugas. Saat itu Nisa merasa yakin Iko adalah sosok yang tepat untuk ditanyakan hal seperti itu. Pertanyaan yang mungkin buat orang kebanyakan terdengar aneh dan mengada-ada.
“Karena aku ingin melahirkan generasi yang kuat” jawab Iko dengan gayanya yang khas seperti biasa. Dingin dan sok acuh yang oleh banyak orang cenderung ditafsirkan sebagai pongah. Kepulan rokok menghembus dari bibirnya, menebar hawa kretek di kamar kos Iko yang sempit dan tak teratur.
“Kalau Tuhan tak berkenan memberimu anak?”desak Nisa, tak lepas menekuni garis-garis tegas wajah Iko yang terbingkai rambut ikal sebahu.
“Adopsi saja, susah amat!”sahutnya ringan. Tak lama pemuda Batak itu kembali duduk di depan komputer dan mulai sibuk menekan tuts keyboard, entah mengetik apa.
Lalu, buat apa menikah,Ko? Desis Nisa dalam hati. Langsung saja adopsi anak. Toh akan selalu ada anak-anak yang kehilangan bapak ibunya dan butuh kasih sayang kita.
Bila begitu Nisa lebih memilih mengajar anak-anak jalanan dan panti asuhan itu. Banyak yang bisa dilakukannya, dari mulai berhitung, menyanyi sampai mengkaji. Ia akan berbagi dengan anak-anak itu tentang hal-hal yang diketahuinya tentang hidup ini. Apa lagi yang lebih memberikan kepuasan selain menyadari bahwa kita punya peranan dalam proses bertumbuhnya sebuah generasi? Seperti menanam bunga di taman kita. Menyiraminya. Memupukinya. Bernyanyi untuknya. Membiarkannya tumbuh dari waktu ke waktu dan memandanginya dengan takjub penuh rasa syukur. Bersyukur bahwa bunga-bunga itu satu saat akan bertebaran di muka bumi dan bisa kembali berbagi keindahan buat orang lain. Bukankah demikian cinta yang seutuhnya?Cinta yang bisa dibagi buat siapa saja dan tak hanya monopoli dua orang dalam pranata bernama pernikahan.
“Satu pertanyaan Mas, kenapa?” tanya Nisa pada Ton ketika semburat matari sore itu halus membelai pipinya, 5 tahun lalu.
“Simple. Karena aku mencintaimu.Itu saja.”
Cinta, huh, itu lagi, keluh Nisa dengan mulut terkatup. Cinta sudah mirip kacang goreng. Sedikit-sedikit bicara cinta.
“Aku pikir aku juga mencintaimu”jawab Nisa nyaris tak terdengar. Ya, lagi-lagi cinta. Kadang Nisa sendiri jadi bingung apa artinya. Kenapa dia pun mulai bicara cinta tanpa mengamininya?
“Lalu apa masalahnya, Nisa. Bukankah kita saling mencintai?” desak Ton terdengar putus asa.
“Tapi kenapa harus menikah Mas, kenapa? Dari sekian banyak cara untuk menjalani kehidupan ini, dari sekian banyak cara untuk saling mencintai dan mengeksplorasi cinta itu, kenapa harus menikah? Apakah kau harus menikahi semua orang yang kau cintai?”
Nisa merekam ekspresi wajah Ton yang tergugu.
Ini kali ketiga Ton membicarakan tentang hal ini dan biasanya ia selalu dengan sukses berkelit dari segala macam kewajiban menjawab. Namun usia Ton sudah merambat 33 tahun dan orangtuanya sudah mendesaknya untuk segera menikah. Sementara Nisa yang 24 tahun—yang dalam ukuran umum patut-patut saja bahkan sudah seharusnya memikirkan pernikahan— merasa sangat terganggu dengan pembicaraan-pembicaraan serupa itu. Bukan karena tak mencintai Ton, tapi karena ia merasa belum selesai dengan dirinya sendiri. Selama Nisa belum menemukan alasan yang paling masuk akal dalam ukuran rasionalitas keras kepalanya itu, ia sudah bertekad tak kan kawin.
Akhirnya, setelah pertengkaran-pertengkaran melelahkan, mereka berpisah.
“Nggak perlu minta maaf, Ton. Kamu lelaki dewasa. Kamu sudah memilih dengan berbagai pertimbangan akal sehatmu. Aku percaya kamu juga siap dengan segala konsekuensi dari pilihan-pilihanmu itu”.
“Kamu nggak apa-apa kan, Nis?”
Dikatupkannya bibirnya rapat-rapat. Do I look all right? Mengapa pria kadang bisa begitu bodoh ? Apakah mereka jarang belajar menangkap getar-getar halus dalam diam? Diam seorang perempuan pula. Bukankah dalam diamnya, kaum yang kerap terbisukan sistem justru tetap mampu mengungkapkan lebih banyak dengan caranya sendiri?
Dihelanya nafas dalam-dalam. Hening. Dan suara gemetar miliknya yang asing entah mirip suara siapa.
“Aku akan baik-baik. Aku pun perempuan dewasa yang harus siap dengan segala konsekuensi dari pilihan-pilihan aku, Ton”.
LEPAS dari hubungannya dengan Ton, Nisa akhirnya memutuskan mengeksplorasi hidup dengan cara yang dipilihnya sendiri. Belajar memaknai hidup dari orang-orang yang beragam-ragam. Waktu berlalu. Lelaki-lelaki silih berganti dalam kehidupannya. Lalu lalang membawakan rangkai bunga.
Mawar, melati, anyelir, anggrek dan entah apa lagi. Lalu apa bedanya? Toh, semua kembang di dunia ini bakal jadi sama saja bila kita tak pernah punya waktu untuk memaknainya.
Laki-laki. Pria. Cah lanang. Apa bedanya? Di mata Nisa akhirnya mereka tak lebih dari bocah-bocah dalam tubuh lelaki dewasa. Mengapa harus melamar Nisa kalau tidak tahu kenapa harus menikah?
Kenapa harus menikah? Haruskah ada cetak biru yang sama bagi setiap orang di dunia ini? Manusia lahir, tumbuh besar masuk sekolah, lulus, cari kerja, cari jodoh, kawin. Punya anak, ngurus anak. Sudah. Bila beruntung, sempat menimang cucu. Dan tak lama, mati. Haruskah hidup berjalan seperti itu? Bah, Mekanis betul!
Pukul 00.01. Nisa bangkit kembali. Mengurai rambutnya seperti memburai tirai dan kembali duduk di depan cermin. Merasa dirinya mirip gadis gelisah yang kerap bertanya pada cerminnya,. Cermin, cermin di dinding apakah cara untuk bahagia?
Menikah, untuk apa? Desis Nisa. Yang ia tahu detik ini, menikah hanya untuk membahagiakan ibunda. Menikah untuk menepis gosip di keluarga besar bahwa dirinya lesbian, gosip yang sebetulnya tak terlampau merisaukannya pun. Menikah karena keluarganya berutang budi banyak kepada keluarga Arman tapi mau tidak mau mesti diakuinya, amat baik kepadanya.
“Itu memang tugas perkembangan kita Nis!” kata Fani temannya yang saat itu masih jadi mahasiswa Psikologi tingkat akhir, suatu ketika sambil bicara teori-teori psikologinya.
“ Pada setiap tahap perkembangan, manusia mempunyai tugas-tugas yang penting dan harus dijalaninya. Dan untuk tingkat dewasa awal, pernikahan adalah salau satu tugas perkembangannya. Kalau tidak terpenuhi kemungkinan akan menghambat tahap perkembangan berikutnya” lanjut Fani
Ah itu kan teori! seru Nisa tersekat. Teori dibuat dari penelitian terhadap realita tertentu. Padahal realita itu saja selalu berubah. Berkembang. Seperti semesta yang terus menerus memuai. Realita manusia pasti berubah. Bisa jadi dalam konteks kekinian, pernikahan tidak akan banyak gunanya. Tidak akan banyak berguna meningkatkan kualitas kemanusiaan di dunia. Begitu tesis Nisa akhirnya.
Tapi bagaimana bisa membantah pinta ibunda? Ibu tak pernah bisa memahami dan karenanya tak bisa mengikhlaskan ketika Nisa datang padanya, memohon restu entah untuk ke berapa puluh kali untuk bergabung dalam sebuah organisasi internasional untuk menjadi relawan kemanusiaan di daerah-daerah konflik seluruh dunia.
Anak perempuan, luntang-luntung keliling dunia??
Bukankah sebuah ide yang sangat menantang, Ibu? tanya Nisa. Bulan depan mungkin ia akan berada di Bosnia dan bulan depannya lagi sudah meluncur ke Palestina.
“Tidak, nduk. Kamu akan menikah bulan depan. Kamu tahu usia ibu mungkin tidak lama lagi dan ibu tidak bisa tenang sampai melihat kamu menikah. Kamu sudah mau 30 nduk. Ndak punya pacar, ndak jelas juntrungannya. Keluarga besar sudah prihatin sekali dengan kondisi kamu, nduk. Kami sudah menyiapkan calon buatmu dan akan mengurus semuanya. Kamu mesti nikah. “ tegas ibunya sambil menangis.
Benarkah semakin tua seseorang semakin berkurang kemampuannya untuk mentoleransi kebenaran di luar dirinya?
Nisa merasa betul-betul letih. Letih bertengkar, letih membantah, letih beralibi. Adakah mencerabut diri dari pinta orang yang sudah melahirkan dan membesarkan kita adalah durhaka?
Duhai durhaka, mengapa kau jatuh hati pada bahagiaku?
Cermin, cermin di dinding. Kemana itu bahagia?
Di hadapan cermin yang setia itu Nisa akhirnya menorehkan sebuah kata maaf. Tidak ada seorang pun yang bisa memaksakan bahagia yang bukan miliknya. Tidak siapapun juga.
Pukul 04.06. Pipi perempuan itu terbentur kusen jendela karena gugup akan pelariannya. …Saat itu, jerawat ranumnya pecah.
Kalau kau mendengar gelak kecil di ujung cerita, itulah tawa cermin yang ceria. Hanya, jangan terkejut bila kaca itu kelihatan mengembun oleh air mata. Karena kabarnya: sukacita hanyalah dukacita yang terbuka topengnya.
Recent Comments