Skip to content

Feby IndiraniFeby Indirani

  • News + Reviews
  • My Cup of Tea
  • Published Articles
  • Writings
  • About Me
  • Published Stories
Home > Bukan Perawan Maria
Published January 23rd, 2019 by febyindirani

BUKAN PERAWAN MARIA

Bukan Perawan Maria

Ilustrasi: Magdalene.co

 

Maria hamil. Tanpa disetubuhi lelaki mana pun. Tanpa status pernikahan.

Saat menyadari itu, ia ketakutan bukan main. Ini tahun 2016 dimana keajaiban macam Siti Maryam tidaklah mungkin dianggap masuk akal. Semuanya sudah berakhir ketika Nabi Isa lahir tanpa ayah berabad jarak yang lalu. Jaman sekarang, siapa hendak percaya bahwa Maria bisa hamil tanpa berhubungan dengan lelaki. Apalagi Maria memang bukan perawan.

Ia sendiri yakin betul bahwa ia hamil secara ajaib, tanpa sentuhan lelaki. Tapi siapa yang akan percaya? Sehari-hari gaya hidupnya seperti selayaknya kehidupan warga urban kota besar. Ia tidak menghabiskan hari-harinya di balik tembok masjid dengan bersujud dan beribadah seperti Siti Maryam yang suci. Ia hanya perempuan normal yang menjalani kehidupannya, bekerja di sebuah kantor swasta. Pekerjaan sampingannya adalah foto model majalah pria dewasa, yang artinya ia terbiasa tampil luwes dengan baju yang cenderung terbuka di depan kamera. Namun ia menetapkan batasan-batasannya sendiri, pose mana yang ingin dan tidak ingin ia lakukan.

Caranya bersantai adalah menyeruput kopi di kafe-kafe dengan teman-teman dan berekreasi pada akhir pekan ke luar kota,  bermain cinta dengan kekasihnya, jika sedang punya kekasih.  Tapi kini ia sedang tidak punya kekasih, ketika tiba-tiba sesuatu justru tumbuh dan hidup di dalam rahimnya.  Dan ia belum menyadari itu sebelum usia kandungannya memasuki tiga bulan. Ia hanya tahu ia tidak kunjung berdarah, namun di dua bulan awal ia hanya berpikir mungkin ia kelelahan, atau stress, atau sebab lainnya. Ketika di bulan ketiga perutnya kian mengeras, barulah dia panik, membeli berbagai macam merk test pack, dan menemukan bahwa semuanya menunjukkan hasil serupa: dia hamil.

Hal pertama dilakukannya adalah berhenti bicara. Namun setelah semalaman diam dan berpikir dan menangis, ia tidak dapat menahan beban itu sendirian. Ia pun menghubungi Saskia, sahabat terdekatnya sejak SMA. Ketika Saskia datang, Maria hanya terbaring lemah di ranjangnya, di salah satu kamar kost mewah yang sengaja menyematkan tajuk residence—untuk menunjukkan bahwa ini bukan sekadar kost-kostan biasa.


“Siapa bapaknya?”

Maria menggeleng. “Demi Allah, tidak ada.”

“Ya nggak mungkin dong..”

Maria memejamkan mata. “Tapi memang nggak ada.”

“Coba kamu ingat-ingat, apa kamu pernah mabuk lalu ada tidak sadarkan diri? Mana tahu saat itu kamu tidur dengan seseorang, tapi tidak ingat.”

Maria menggeleng. “Aku tidak pernah minum alkohol sampai mabuk.”

Saskia menatapnya dengan bimbang.

“Kamu sudah kenal berapa lama sama aku? Aku bukan pembohong kan?” 

 “Kalau begitu kamu mau aborsi saja?”

Maria membalikkan tubuhnya, kembali berbaring memunggungi Saskia.

“Mar…”

“Bagaimana kalau aku mengandung seorang nabi? Bukankah konon menjelang akhir jaman, Isa atau Yesus akan kembali lagi ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia? Tanda-tanda akhir jaman sudah semakin dekat, kau tahu?“

“Ya tapi itu kalau kau berkelakuan seperti Siti Maryam, atau Bunda Maria yang rajin beribadah, mendekatkan diri pada Tuhan dan melindungi diri dari laki-laki mana pun. Sementara kamu kan… ya eh maaf.. tapi kamu kan nggak begitu…”

Maria kembali terdiam. “Ya tapi aku kan juga nggak buruk-buruk amat..” ujarnya sedikit tersinggung. “Aku nggak mengambil hak orang lain dengan korupsi. Aku menghidupi diriku dengan keringatku sendiri, meskipun antara lain jadi model seksi. Aku shalat, meskipun kadang bolong. Aku bayar pajak, tidak buang sampah sembarangan, mengantre dengan tertib.. Aku nggak mencuri, aku nggak menganggu hak orang lain, termasuk nggak tidur dengan suami orang…”

Saskia terdiam. Bingung. Selanjutnya adalah hening yang tidak nyaman. Ia tidak tahu harus bersikap dan berkata apa, ini sesuatu yang terlalu sulit dipercaya.

“Terus kamu mau bagaimana dong?”

Maria lagi-lagi terdiam. Matanya sembab dan seperti sudah lelah menangis. Saskia memegang tangannya.

“Kita cari laki-laki yang mau mengawinimu saja.”

“Ya mana ada yang mau lah.“

“Ya belum juga dicoba kan…”

Mereka mulai membuat daftar pria-pria yang pernah, sedang, sempat dekat dengan Maria setidaknya dalam dua tahun terakhir, jangka waktu yang dinilai cukup rasional. Lebih lama dari itu kemungkinan sudah tidak punya ikatan apa-apa lagi dengan Maria, yang artinya akan langsung menolak.

“Rama?”

“Baru jadian dengan orang lain…”

“Ricky?”

“Ya kan beda agama, panjang urusannya…”

“Ardan?”

“Ah percuma, dia kan nggak suka sama aku!”

“Fahmi?”

“Ya itu aku yang sampai mati nggak akan mau sama dia!”

“Aduh Mar, kenapa sih?  Kamu itu kepepet. Ya mau aja lah!”

“Pokoknya nggak. Mending nggak usah saja..”

Saskia mencibir kesal.

“Ah, Gilang saja ya. Kamu kan belum lama ini dekat banget sama dia…”

“Gilang.. uhm.. masih suami orang, Sas…”

“Tuh kan, katanya nggak tidur dengan suami orang…”

Maria tersipu, untuk pertama kalinya mengulas senyum setelah beberapa jam terakhir. “Nggak sering-sering kok…”

Saskia menggeleng-gelengkan kepalanya dengan wajah frustrasi. “Gimana orang mau percaya sama kamu kalau kamu hamil tanpa berhubungan dengan lelaki mana pun?”

“Maksudmu, kamu yang nggak percaya sama aku?”

“Ya siapa pun bakal sulit sih percaya sama kamu..”

Maria cemberut lagi.

“Tapi aku percaya atau nggak percaya sama kamu itu kan nggak penting. Yang terpenting sekarang apa yang harus kamu lakukan. Perutmu makin lama akan makin besar, dan akan jadi pertanyaan semua orang. Di kost, di kantor, teman-temanmu, keluargamu nantinya juga bakalan tahu kalau kamu pulang, kamu nggak  bakalan bisa menyembunyikan ini lebih lama lagi…”

“Iya.. “

“Jadi menurutku pilihannya ya dua, cari laki-laki yang mau menikahimu, atau aborsi secepatnya.”

“Hum… pilihan yang sama-sama nggak enak…“

“Ini bukan soal enak nggak enak Mar.. udah deh..”

Saskia  bangkit dari tempat duduknya, diikuti tatapan Maria yang risau. Ia membuka kulkas, menuang air ke dua gelas, memberikan segelas kepada Maria dan menenggak habis gelas satunya.

“Ok, Fahmi saja. Itu peluang terbaikmu,” tegas Saskia.

Maria langsung menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

“Ya sudah, kalau begitu aborsi…”

“Aduh, kenapa mesti begitu sih? Apa ya nggak bisa perempuan mandiri, melahirkan anak sendiri, nggak usah nikah sama siapa-siapa? Aku punya tabungan kok. Masih cukup untuk membiayai hidupku dan anakku.“

“Ya tapi semua orang akan tanya, itu anak siapa?”

“Anakku lah jelas…”

“Ya, tapi siapa bapaknya?”

“Nggak ada, aku seperti Siti Maryam. Anaknya jadi nabi, siapa tahu anakku juga!”

“Kamu sudah gila!”

“Ya kamu lebih gila lagi menyuruhku membunuh anakku sendiri!”

Saskia mengibaskan tangannya. “Anakmu nggak mungkin jadi nabi. Kalau kamu benar nggak tidur dengan siapa pun dia bisa jadi anak jin atau siluman. Sementara kalau ternyata kamu bohong, ya dia cuma anak haram!”

“Dan kamu masih nggak percaya bahwa aku hamil tanpa peranan laki-laki mana pun, ok baiklah. Aku pikir kamu adalah satu-satunya sahabatku, satu-satunya orang di dunia ini yang bakal percaya kepadaku!”

“Nggak ada bedanya aku percaya atau nggak sama kamu. Yang ada, aku nggak bisa membantumu juga karena kamu keras kepala dan juga nggak mau menuruti saranku. Dan ya, kalau kamu penasaran, aku memang nggak percaya sama kamu!”

“Ya sudah, kalau begitu untuk apa kamu masih di sini?” tantang Maria.

Tanpa berucap apa pun lagi, Saskia pun pergi meninggalkan Maria. Dan Maria tahu saat itu ia benar-benar sendirian. Hanya berdua dengan bayi di dalam kandungannya. Tidak ada seorang pun yang akan mempercayainya. Semua orang akan menudingnya sebagai pezina.

Tapi, peduli setan! Ini anakku. Ini hidupku. Dan ini 2016.

Menjadi ibu tunggal bukanlah sesuatu yang sedemikian aneh di tahun 2016. Ia tinggal di tempat yang mayoritasnya adalah Muslim, tapi ia cukup beruntung karena tidak akan mendapatkan hukuman cambuk karena dituduh berzina. Meski bagaimana pun ia harus berpikir keras untuk menyembunyikan hal ini dari keluarganya. Ia juga harus mempersiapkan lebih banyak uang untuk biaya persalinan, dan ia harus mempersiapkan tempat persembunyian yang aman di saat kandungannya semakin besar. Lalu harus mulai memikirkan akan tinggal di mana mereka, ia dan bayinya setelah lahir nanti. Tiba-tiba ia merasa pening, terlalu banyak pikiran menghantamnya di saat bersamaan.

Maria menjalani hari-hari selanjutnya, sendiri, mencoba tegar. Ia kembali masuk kantor seperti biasa, bersikap seolah tidak ada apa pun yang berbeda. Mengenakan pakaian lebih longgar, tapi tidak ada yang curiga. Setelah memasuki bulan kelima, beberapa orang berkomentar bahwa ia kelihatan lebih berisi atau gemuk, namun sekaligus juga tampak lebih cantik. Maria seperti biasa menebar senyum seolah tanpa beban, meskipun sering menangis pada malam hari.  Ia menolak tawaran pemotretan yang datang, karena kehamilannya akan langsung terlihat jika ia memakai pakaian mini dan membuka bagian perutnya.

Kedua orangtuanya yang tinggal di kota lain bahkan sempat menjenguknya. Maria dengan lihai menutupi semua itu, dengan berbagai mode pakaian plus cerita ringan bahwa ia sekarang doyan sekali makan. Orangtuanya malah tampak senang dengan pipinya yang tampak berisi dan wajahnya yang kelihatan segar. Maria bahkan terkejut dengan mulusnya segala sesuatu hingga usia kandungan yang ketujuh.

Saat itu, kehamilannya semakin sulit disembunyikan. Selonggar-longgarnya pakaiannya, buncitnya perut akan tetap terlihat. Tapi ia tetap tampil tenang dan anggun, seolah tidak ada yang berbeda. Maria sadar orang-orang kini mulai membicarakan dirinya, menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu, atau langsung mencibirnya. Semua orang tahu ia belum menikah.  Tapi bukankah itu bukan urusan siapa pun?

Beberapa rekan kerja yang berani mulai bertanya langsung kepadanya. Maria sudah memutuskan untuk berkata apa adanya, apa pun risikonya. Berbagai komentar pun langsung menderanya tanpa ampun.

“Dasar gila, kamu pikir kamu Siti Maryam atau Bunda Maria? Cuma karena namanya sama, jangan mimpi deh!”

“Apa ya nggak malu punya pikiran dirimu itu bisa kayak Siti Maryam? Foto model majalah esek esek lho!”

“Sudah 2016, cewek hamil tanpa suami itu nggak seaneh itu. Asal ngomong aja jujur, kita bantu nanti seret lakinya supaya mau tanggung jawab!”

Desas-desus tentang kehamilannya terus beredar, dan semakin banyak anggapan aneh kepada Maria. Entah darimana sumbernya, keluarganya di kota lain akhirnya mengetahui kehamilan Maria, bahkan tidak hanya itu, juga mengetahui pekerjaan sampingannya sebagai seorang model majalah pria dewasa. Sepertinya seseorang sengaja membongkar semua itu untuk mempermalukan Maria dan juga keluarganya.  Maria dipanggil pulang ke kampungnya, tepat ketika kelahirannya tinggal menghitung hari. Kedatangannya membuat heboh para tetangga dan teman-teman lamanya. Maria hamil tanpa suami, dan ia berani bersumpah tidak hamil karena lelaki manapun.

“Siapa laki-laki itu, Nak? “ tanya ibu dan bapaknya sambil menangis.

Maria hanya diam. Ia memberikan surat kepada kedua orangtuanya, berisi permintaan maaf dan pengakuan bahwa ia betulan hamil tanpa berhubungan dengan lelaki mana pun. Juga bahwa  ia lelah dan tidak ingin berbicara sampai bayinya lahir.

Di tengah hari yang terik, tepat sembilan bulan sembilan hari, Maria melahirkan bayinya. Seorang perempuan. Kabar itu, dengan cepat pula, entah bagaimana menyebar kepada teman-temannya. Semua orang pun mencibir. Mana, katanya bunda Maria, kok tidak melahirkan Nabi? Bukan melahirkan juru selamat?

Sementara itu Maria tak peduli, ia berbaring, asyik menyusui bayinya.

Bayi perempuan yang menatap matanya, lalu berkata, “Ibu, aku hampir tak jadi lahir, dunia ini sudah terlalu lama berhenti percaya…”

Maria memeluk bayinya. “Tapi, aku percaya, Nak…” ***

 

 

Pernah dimuat di Magdalene.co (https://magdalene.co/news-1048-bukan-perawan-maria-%E2%80%93-sebuah-cerita-pendek.html), 5 Januari 2017.

Published Stories Writings

Bukan Perawan Maria cerpen Relaksasi Beragama Relax It's Just Religion

Published January 23rd, 2019 by febyindirani

THE WOMAN WHO LOST HER FACE

The Woman who Lost Her Face

Illustration (Shutterstock/File)

One morning Annisa woke up, and when she looked in the mirror, she realized she no longer had a nose.

“Astaghfirullah!” she cried loudly. If her husband Razi had been at home, he might have fallen off his favorite lounge chair. But Razi was out of town on a business trip and would not be home for another five days. Oh God, what should I do? thought Annisa in a panic.

For several minutes, she just buried her face in a pillow. The mirror in her room became the ghost that she feared the most. For the next several hours, Annisa wept, lamenting her fate. How could her nose disappear? To be exact, it was her slim nose and its cute rounded end by her nostrils. All that was left of her nose were two circles covered by her nostrils, of which only half remained. She didn’t feel any pain whatsoever. She could still breathe normally through the holes. But oh, how ugly her face was with her nose gone!

Annisa still hoped it was a nightmare, however, when she looked in the mirror again, she knew she wasn’t dreaming. She no longer had a nose. She was shaken, but then she began to think rationally and weigh up some alternative actions. Contact a doctor at the hospital? Yes, Annisa would do so, but no, she had better wait for Razi to come home. No, she didn’t want to tell Razi now, because she didn’t want to disturb her husband’s concentration. And yes, she thought it might be very expensive to make a new nose.

As a good wife, she wouldn’t possibly spend that much money without her husband’s permission. No, going to a doctor or hospital was not an urgent priority, because Annisa was certain that she didn’t feel any pain at all. Yes, this was an aesthetic problem, not a health issue. Even though she was in shock, instinctively Annisa knew that her life was not endangered.

Okay, this was not everything. She breathed normally again. Annisa just needed to go out of the house today as usual.

She put on her scarf, which was long in a plain dark blue, along with the niqab (face veil) which she usually wore to cover her face, leaving a pair of eyes and eyebrows. It is lucky I wear a niqab, thought Annisa relieved.

For a moment, Annisa focused upon the things that she had to do that day. Visit the school owned by her family and meet with the teachers. Confirm that the renovations on the school building could start immediately before the new school year begins. Maybe she would take part in a meeting with the contractor, which meant a series of sessions. After that, she actually had planned to relax at a salon specifically for Muslim women, but no, it would be better to cancel that, because she didn’t want to shock people with her face. Yeah, perhaps she would go directly to the supermarket and shop for some household necessities.

She drove slowly, half daydreaming. When she entered the gate to the school, she didn’t know why but her heart started to pound. She didn’t feel ready to meet a lot of people in this kind of situation. Annisa glanced in the rear-view mirror and saw the veil that covered her face. There’s nothing different, Nisa. No one will know whether you have a nose or not; she tried to convince herself.

Three girls in headscarves ran to greet her as she got out of her car and respectfully kissed her hand.

“Mother Nisa…Mother Nisa…” called the girls. They knew her car, and so were ready to greet her.

All of them wore plain white headscarves with their faces unveiled. They smiled when Annisa patted their heads one by one. Annisa’s gaze fell upon their noses. She entered the meeting room where the teachers were waiting. The meeting went ahead, and for a moment she succeeded in forgetting about her own problem.

When prayer time came, Annisa began to think again about her missing nose. But she had a room of her own at the school that was very private, and she could pray there freely without worrying that anyone would spot her without her face covered.

She had spent half the day feeling like a person in hiding, like a frightened person. You must be strong Nisa; you must be strong, she repeated to herself. And that was how Annisa spent the day, trying as much as possible to focus on the people she was meeting, looking for solutions to problems they faced, and often having to make some final decisions.

Her parents had established this school, and it was a mandate for her to maintain it and keep it going. Annisa was grateful, Razi had given her permission to continue managing the school, moreover because Razi supported the vision of the school to create a generation of devout people who prioritized religious education above all else.

She just had to finish the day with shopping at the supermarket. Not something difficult, she thought. I’ve made it through the day so far. But no matter what, on this day she felt more sensitive about being among many people. Annisa noticed several people staring at her, with curious looks. That was definitely because of her covered face. Wearing a niqab was not so common in Jakarta, but she was also not the only one. After three years of wearing the niqab at the request of her husband, Nisa was used to facing the curious stares cast in her direction. Even more so if they were in a restaurant, more people would be watching her because they wanted to know how she ate. It really bothered her at first, but now Nisa was used to it, and she didn’t care.

At first, Nisa refused when Razi asked her to wear a niqab. Even though she had worn a headscarf since she was a teenager, wearing the niqab was a different step. But according to Razi it was the correct way based upon the demands of the religion. “Undertaking religious commands must be kaffah, Ummi.”

This was the endearing nickname Razi used for her. Islam kaffah means thoroughly, with all its aspects, the whole side, related to all the matters in every aspect of life.

“What’s more Ummi, you are a beautiful woman, and even wearing a headscarf, your beauty can still be seen. Meanwhile, I am often sent out of town for work. I’m not willing to have other men looking at my wife,” explained Razi gently while stroking her hair.

And that kind of behavior always made Nisa melt. Razi never forced his wishes, but persuaded her and made her aware of what was right and how she must act as a soleha (a pious woman). And finally, although half-heartedly, she followed her husband’s request that she wear a niqab. And indeed what Razi had said was true, she felt safer and protected from the gazes of strange men.

Annisa found wearing a niqab at times caused difficulties, for instance when she ate in a public place or perhaps due to the hot and humid weather in Jakarta. Also when she met friends at the mall or other public places, Annisa had to call out louder and bump into old friends, who of course did not know her because they couldn’t see her face.

And sometimes, if she was lazy she chose not to greet them even if she crossed paths with an old friend. Actually it didn’t matter, they didn’t know the difference. But still, a guilty feeling would slip into her heart, even more so if that person happened to have been a good friend at one time.

Like on this day when she clearly caught sight of Arifin, a good-looking old friend who she had once been close with. That doesn’t really describe their situation. To be precise, Arifin had been in the process of taaruf or getting to know her for some time, before she finally decided to choose Razi.

Arifin was standing just a few meters across from her, in the fruit area. Annisa suddenly felt her heart beating faster. He was still as handsome as she remembered. His body had filled out, and he was not as skinny as when he was at university.

Say hi, don’t. Say hi, don’t. Annisa was suddenly thrusted into a dilemma. She was still looking at Arifin who was calmly sorting and choosing oranges, unaware of the pair of eyes watching him with the rumbling chest. That’s how it was for her as someone wearing a niqab,

Annisa often felt that the decision of whether or not to continue the ties of a relationship was in her hands. She could decide whether she would reveal who she was or not. If she didn’t wear a niqab, at this distance there was a good possibility that Arifin would know who she was and greet her first — so that Annisa would not have to sacrifice her dignity.

But of course right now, imagining not wearing a niqab and meeting a man from her past, was not something that would be to her benefit. Not when she had just lost her nose. Now or never. Annisa got the courage together to greet Arifin. She would say hello to this man, who would recognize her voice at least. And even if it were only for a moment, Annisa would chat with him again, and see what his reaction was to meeting her.

“Mas, why is it taking so long? Come on, the film’s going to start,” a woman approached Arifin and rubbed his back, just when Annisa wanted to step closer to him. The woman was lovely. She didn’t wear a headscarf and looked like a young professional with her eyebrows neatly drawn and bright pink lipstick. Annisa still had a chance to steal a glance at the woman’s cute nose that fit so well in her oval face.

She turned around and slowly walked towards the cashier. His wife? His girlfriend? What was clear from their body language, they were close. The question that arose in her head was how could Arifin become close to or marry a woman who was not from their group? Arifin had been one of the most respected leaders of the prayer group, whose diligence in praying and spirit in defending religion were well tested. Why had the change taken place so quickly? Was it because he had failed to marry her?

Annisa went home, still feeling confused. She missed Razi, but her husband would not be coming home tonight. She had to sleep alone again, and she felt restless. When she prayed, she wept mournfully, feeling empty. She sent her husband a text message.

Abi, Ummi misses you. I can’t wait for you to come home.

Abi, if Ummi were no longer pretty, would Abi still love Ummi?

The message wasn’t read. Where her husband worked, there were often problems with phone reception. Annisa could only take a deep breath, and try to fall asleep. In her dream, it was like she saw a person drawing a sketch of her face, with her hair long and wavy. She had let her hair grow long at her husband’s request. She seemed to be standing, behind the painter’s back, observing him as he perfected the painting of her face, and appreciating her own beauty in that painting. The painting that was almost done.

Then Annisa was shocked, because suddenly the painter daubed white paint on her nose, ruining the painting of her face.

“Don’t, why? Don’t!” She felt her hands shaking the painter’s shoulders.

But the painter was unmoved. Instead, he continued to move the paintbrush to the area of her mouth. So the painting of her beautiful face was ruined, all that remained were a pair of beautiful eyes. The painter placed his brush right above her eyes. As if he was considering. Waiting for a resolution.

“Don’t… don’t…” Annisa was again shaking the painter’s body. Then she woke up. For a moment she was not aware, was this still night time? Was it already dawn? Had the call to Subuh prayers already passed?

Annisa felt the dried tears on her cheeks. She rubbed her face, with movements that were hesitant and anxious. She rubbed the place where her nose had been, and she couldn’t feel anything. Her fingers moved slowly, trying to feel her lips.

Her heart seemed to stop. She couldn’t feel her lips. She moved her mouth and felt the exhalation of her breath from that hole. But she could not feel her lips. Annisa felt her whole body weaken. With the remainder of her strength, she dragged herself to the mirror.

Annisa looked at her face, or to be precise, what was left of her face. Two holes for a nose, a hole for a mouth. A pair of eyes that had shrunk closed by what was left of the lids. Only her thin eyebrows remained of her face. No one would recognize that face as her face. Not even Annisa herself. She wept uncontrollably.

But when the sun had already risen, Annisa was aware that many tasks awaited her out there. So she gathered her strength, put on her headscarf, and wear her niqab. She left the house and followed her routine. Before starting her car, she got a message on her cellular phone.

Abi loves Ummi, no matter what. Take care of yourself Ummi.

The best jewels are a wife who is soleha. And a soleha wife should obey what her husband says no matter what. Annisa took a long breath. She only hoped she was still the most beautiful jewels for her husband. Even though she had already and might continue, to lose her face. ***

Translated by Marjie Suanda.

Published in The Jakarta Post (https://www.thejakartapost.com/life/2017/03/13/short-story-the-woman-who-lost-her-face.html), March 13, 2017.

Published Stories Writings

Bukan Perawan Maria cerpen Relaksasi Beragama Relax It's Just Religion

Published January 23rd, 2019 by febyindirani

RUANG TUNGGU

ruang-tunggu-ilustrasi-bagus-jawa-pos

Ruang Tunggu ilustrasi Bagus/Jawa Pos

ROHMAN masih ingat saat ia melihat tubuhnya terburai dan anggota tubuhnya tersebar ke berbagai penjuru. Ia merekam gambar itu dalam gerakan lambat, dan melihat segalanya dengan jelas; orang-orang yang menjerit histeris, tubuh-tubuh yang jatuh bergelimpangan, darah yang menggenang.

Ia mendapat giliran menjalankan misi suci sehari sebelum tahun baru. Ia merangsek ke dalam kerumunan festival seni jalanan di kota itu lalu meledakkan diri. Begitulah perintah yang didapatnya, dan begitulah yang ia laksanakan. Kami dengar maka kami taati, setiap anggota mengerti prinsip itu.

Setiap anggota juga paham, akan tiba giliran mereka menjadi “pengantin”. Pengantin, karena pengorbanan nyawa yang mereka lakukan akan dibalas dengan sambutan 72 bidadari surga. Bidadari-bidadari yang sopan, yang menundukkan pandangannya, yang tidak pernah disentuh oleh manusia dan tidak pula oleh jin. Bidadari yang seindah permata. Wanita-wanita muda tercantik yang terlihat bagaikan anggur merah pada gelas putih. Itulah yang akan menjadi mempelai mereka. Dan bayangan itu selalu membuatnya berseri karena gairah.

Namun, saat ini, ia hanya menemui ruang kosong yang begitu luas, sehingga tepi ruangan tampak tak begitu jelas di matanya. Dia duduk di sebuah kursi, sendiri dalam kelengangan. Dan itulah yang ia lakukan, entah sudah berapa lama. Ia tidak merasakan apa-apa, tapi sekaligus merasakan segalanya. Ia tidak menunggu, tapi juga sekaligus merasa ingin tahu. Ia bisa bebas bergerak ke mana pun yang ia inginkan, tapi juga tidak ingin beranjak ke mana-mana. Segalanya seperti sulit untuk dijelaskan. Ia merasa, ini adalah dimensi yang berbeda dengan dimensi kehidupannya di dunia, tapi ia sendiri merasa belum bisa sepenuhnya membebaskan diri dari dunia.

Jadi ia hanya menunggu, dan menunggu. Dan menunggu.

Sampai kemudian ia melihat ada titik dari kejauhan mengarah pasti menuju padanya. Titik itu semakin lama semakin jelas bentuknya, berjalan dengan ritme tetap, dan semakin besar. Semakin jelas sosoknya, yang ternyata seorang perempuan. Rambutnya lurus tergerai sebahu, ia tidak menutup kepala. Rohman ingat salah satu cerita yang pernah didengarnya di dunia, bahwa perempuan-perempuan di surga memang tidak berhijab. Tapi perempuan ini kelihatan terlalu normal, terlalu biasa. Ia cukup manis, berkacamata, mengenakan rok span, dengan kemeja berlengan panjang yang digulung sebatas siku. Ia tidak kelihatan mewah. Tidak mengenakan sutera hijau seperti gambaran-gambaran tentang bidadari.

Semakin dekat perempuan itu, semakin Rohman mengambil kesimpulan: dia bukanlah bidadari. Pasti bukan. Tiba-tiba ia dilanda kejengkelan, seperti perasaan orang yang tidak sabar menunggu, dan tidak tahu sampai kapan ia harus menunggu. Di mana bidadari-bidadariku? Aku mau bidadariku. Ingin rasanya Rohman menghentak-hentakkan kakinya, tapi ia gengsi, nanti diledek, kok seperti kanak-kanak yang dongkol karena minta mainan dan tak dipenuhi ayah bundanya.

“Selamat datang di Ruang Tunggu,” kata perempuan itu begitu berada di hadapannya.

Suaranya dalam, juga merdu. Ia duduk di kursi yang sama bentuk dan rupanya dengan kursi yang Rohman duduki, meskipun sebelumnya Rohman tidak melihat ada kursi di depannya. Apakah kursi itu dari tadi berada di sini? Pikir Rohman bingung. Ia menatap perempuan di depannya dengan penuh tanda tanya. Di dunia, ia akan cenderung memalingkan pandangan demi berhadapan dengan perempuan seperti ini. Apalagi ia tidak berhijab. Namun saat ini ia tidak merasa itu perlu. Ia hanya ingin bertanya, tapi mulutnya enggan terbuka.

Perempuan di hadapannya hanya menatap lurus, dengan ekspresi muka yang sulit diterka. Seperti tersenyum, tapi bukan. Antara sikap menantang, meledek, bangga, sedih, tapi juga kesombongan. Entahlah, Rohman hanya tidak bisa berhenti menatap perempuan itu, juga karena hanya dialah yang ada di hadapan untuk dipandang.

Kemudian mereka berdua hanya saling diam, saling berpandangan. Perempuan itu kemudian mengeluarkan rokok, menyalakan, dan mulai mengisapnya. Rohman semakin bingung. Bukankah ini seharusnya akhirat? Bagaimana mungkin ada rokok di akhirat? Dan ia paling benci asap rokok. Ia paling benci juga pada perempuan yang merokok.

Dan perempuan itu seperti tahu Rohman membencinya, malah dengan sengaja mengembus-embuskan asapnya ke wajah Rohman. Aroma kretek yang persis sama dengan di warung Marto langganannya dulu. Ini semua semakin tidak masuk akal. Rohman merasakan kemarahannnya memuncak.

“Siapa kamu? Di mana saya? Di mana bidadari-bidadari saya?” Rohman merasakan suaranya menggelegar dan bergetar.

Perempuan itu kemudian terkikik geli.

“Selamat datang di Ruang Tunggu,” ulangnya lagi, kali ini dengan intonasi yang berbeda. Lebih menggoda.

“Kejutan! Tidak ada mempelai. Tidak ada bidadari. Tidak ada sorak sorai pesta penyambutan. Hanya ada kamu, di Ruang Tunggu. Dan untuk sekarang, saya,” ujar perempuan itu tenang.

“Tidak mungkin! Saya sudah dijanjikan 72 bidadari! Mereka wanita-wanita muda cantik yang bening, yang sopan, yang menundukkan pandangannya, yang tidak pernah disentuh oleh manusia dan tidak pula oleh jin. Dan saya yang akan memerawani mereka siang dan malam tanpa henti, tanpa lelah, tanpa pernah lemas, tanpa pernah kehilangan syahwat!”

Lagi-lagi perempuan itu terkikik geli, tidak menjawab, terus saja mengembus-embuskan asap rokoknya dengan gaya yang membuat Rohman muak. Ingin rasanya ia menampar perempuan itu. Ia pantang memukul perempuan, hanya lelaki pengecut yang memukul perempuan, demikian prinsipnya sejak dulu. Tapi terhadap perempuan ini rasanya ia tidak lagi memiliki kesabaran.

“Katakan di mana bidadari-bidadariku,” ujarnyadengan nada mengancam, sambil berdirimenghadap perempuan itu. Tangannya terayun, sedikit lagi akan menghajar wajah si perempuan, meski sebetulnya ia masih ingin menahan diri.

Perempuan itu setegar benteng, matanya menatap Rohman tenang, tanpa berkedip. Ia terus saja mengisap rokok, kemudian mengembuskannya. Dan Rohman baru tersadar bahwa rokok itu tak kunjung memendek sedari tadi, ukuran dan bentuknya tetap sama, dan terus menyala.

“Tidak ada bidadari. Tidak pernah ada. Dan tidak akan ada.”

“Bagaimana mungkin?” pekik Rohman

“Mengapa tidak?” kali ini perempuan itu yang balas berteriak, sambil berdiri dan menantang wajah Rohman. “Apakah kamu kira kamu layak mendapatkan segala keindahan dan kebahagiaan setelah membunuh begitu banyak orang tak berdosa di dunia?”

“Ya, tentu!”

“Karena?”

“Karena saya menjalankan misi suci. Saya memperjuangkan kepentingan yang lebih besar dari diri mereka, dari diri saya sendiri, dari semua orang.

“Meh…” perempuan itu mencibir.

“Keadilan di muka bumi, pembalasan pada pihak yang telah menghancurkan agama dan umat!”

“Dengan mengorbankan nyawa orang-orang yang tidak berdosa?”

“Ah semua orang itu berdosa juga, kok! Toh mereka berpesta dan minum alkohol!”

Perempuan itu tertawa terbahak-bahak. Lalu dengan gerakan seperti memetik dari udara, ia mengambil sebotol minuman, menenggaknya. Rohman merampasnya dengan murka. Tapi tangan nya tidak dapat menyentuh apa-apa. Aneh, padahal hidungnya masih dapat mencium aromanya.

“Arrrrgh! Arrrgh! Arrrgh!” Rohman berteriak ke ras. Ia meremas rambutnya dengan kalut. Ini tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin. Bagaimana mungkin? Apakah mungkin? Bagaimana jika mungkin? Ia terus berteriak-teriak, sepuasnya, sekuatnya. Ia ingin mengeluarkan segala kebingungan, kemarahan, ketidakmenentuan yang ia rasakan. Dan ia terus berteriak, entah untuk berapa lama dengan mata yang menyipit lalu terpejam. Ia hanya terus berteriak dan terus berteriak.

Entah untuk berapa lama, ia tidak tahu. Ia kemudian berhenti begitu saja. Bukan  karena lelah atau haus, tapi lebih karena jemu. Dan ketika ia membuka mata, perempuan itu masih ada di hadapannya. Menatapnya dengan raut wajah dan posisi duduk yang sama.

Rohman sangat ingin mencekiknya.

“Kau bilang tadi ini Ruang Tunggu?”

“Ya.”

“Lalu apa setelah ini?”

“Saya tidak akan memberi tahu, itu bukan tugas saya.”

“Berilah petunjuk, sedikit saja!”

“Saya sudah memberi tahu apa yang kamu perlu tahu. Tidak akan ada bidadari untukmu.”

“Lalu ada apa?”

Lagi-lagi perempuan itu tertawa. Nadanya kali ini lebih bersahabat daripada meledek. “Kalau saya cerita memangnya kamu percaya? Selama ini kan kamu percaya pada guru-gurumu itu. Nah, ternyata kamu dikibuli. Titik. Kamu Cuma dimanfaatkan saja, dibodoh-bodohi. Mereka itu belum pernah berkunjung ke mana-mana selain pikiran sesat mereka sendiri, boro-boro sampai di Ruang Tunggu seperti kamu.”

“Brengsek! Brengsek! Brengsek,” maki Rohman. Kemudian kembali menangis. Lalu berguling-guling, menendang-nendang, memukul-mukul, terus-menerus melakukannya, terus-menerus, tanpa merasa lelah. Tapi setelah entah berapa lama, akhirnya ia merasa jemu. Ia kembali duduk berhadapan dengan perempuan itu, yang masih menatapnya dengan raut muka dan posisi duduk yang sama. Batang rokoknya tidak memendek, dan asapnya terus mengembuskan aroma kretek.

“Kamu bohong, kan? Ini toh hanya Ruang Tunggu. Pasti akan ada bidadari yang menunggu saya di sana? Saya sudah mengorbankan segalanya… Segala-galanya. Menjauhi orang tua, keluarga, teman-teman, menjadi orang yang berbeda dan kehilangan mereka semua.” Air mata Rohman kembali berlinang.

“Saya kadang merasa lelah, juga merasa bersalah. Saya juga membayangkan orang-orang tidak bersalah yang terkena dampaknya hanya karena mereka kebetulan berada di sana. Dan kalaupun mereka minum alkohol, mereka tidak sepantasnya mendapat hukuman seberat itu. Saya juga sering merasa takut, tapi guru-guru selalu menguatkan saya, ada kehidupan abadi setelah dunia. Ada keindahan abadi… Ada bidadari…”

Rohman menangis sesunggukan. Menggerung-gerung.

“Bilang pada saya semua itu akan ada, katakan pada saya ada bidadari! Bukan perempuan seperti kamu yang sombong, merokok, sok tahu! Saya mau bidadari saya.” Kini Rohman merengek seperti kanak-kanak.

“Seperti apa saya sekarang, hanyalah cerminan dari sesuatu yang tidak kamu sukai,” jawab perempuan itu tenang. “Tapi seperti apa saya juga tidak akan mengubah apa pun untuk kamu, kan?”

Rohman menatap perempuan itu, dan merasa heran karena mukanya berangsur-angsur berubah menjadi seperti ibunya. Rohman membelalak, air mata terus membanjiri wajahnya. Lalu wajah perempuan itu berubah lagi menjadi guru kesayangannya ketika sekolah dasar. Kemudian perlahan berubah lagi menjadi wajah kakaknya, lalu berubah lagi menjadi wajah ibunya, kemudian wajah perempuan yang pernah hendak dilamarnya, lalu wajah yang tidak dikenalnya. Terus berubah dan berganti-ganti.

Perempuan-perempuan itu menatapnya dengan wajah sedih, sambil terus berkata, “Tidak ada bidadari, Rohman. Tidak akan ada bidadari untukmu.” Rohman lalu membentur-benturkan kepalanya. Terus-menerus. Terus-menerus. Tanpa merasa sakit. Tanpa merasa lelah. ***

 

Pernah dimuat di Jawa Pos, 27 November 2016 (https://lakonhidup.com/2016/11/27/ruang-tunggu/)

Published Stories Writings

Bukan Perawan Maria cerpen Relaksasi Beragama Relax It's Just Religion

Published January 23rd, 2019 by febyindirani

TANDA BEKAS SUJUD

tanda_bekas_sujud_gambar

ilustrasi: http://infoislamicblog.blogspot.co.id/

Mulutnya berkomat-kamit. Matanya tertutup dengan khusyu’. Setelah beberapa saat Abik mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Dua bulatan biru kehitaman tercetak di dahinya. Tanda bekas sujud, itu yang dikatakan guru pengajiannya, akan diperoleh seseorang yang rajin shalat. Semua rekannya di kelompok pengajian itu berlomba-lomba untuk memiliki tanda itu di kening mereka.

Raut ketenangan terpancar dari wajahnya. “Alhamdulillah..” ujarnya. Ia bersalaman kepada orang di sebelah kanannya, kemudian berpaling kepada orang di sebelah kirinya. Itulah maknanya mengucapkan salam setelah sholat, ujar seorang penceramah yang pernah didengarnya, untuk menebarkan rahmat dan salam kepada orang-orang di sekitarmu.

Usai salat berjamaah, Abik siap untuk menjalankan tugasnya hari itu bersama tim satuan tugas, yang terdiri dari lima orang. Hari itu mereka akan mengadakan pemeriksaan kalau-kalau masih ada warung makan yang buka di siang hari.

Tidak ada negosiasi, tidak ada tawar menawar lagi. Di hari pertama bulan puasa, timnya masih menemukan satu-dua warung yang nakal. Namun pemiliknya minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Hari ini, tidak ada lagi maaf. Aturan harus ditegakkan.

Abik tidak mengerti kenapa masih saja ada orang yang tidak menghormati bulan Ramadhan, bulan suci yang mulia ini. Ia harus memberikan pelajaran kepada mereka semua.

“Ibu ini orang Islam, kenapa berjualan makanan di bulan Ramadhan?”

“Maaf Kang, maaf, tapi saya kan butuh duit untuk lebaran, mau belikan anak-anak saya pakaian baru sebagai hadiah mereka sudah bisa puasa penuh, mau kirim uang untuk saudara di kampung..”

“Astaghfirullah Ibu. Rejeki itu dari Allah, bukan dari manusia. Yang ada sekarang ibu melanggar aturan untuk berhenti jualan di siang hari. Kan malam setelah berbuka masih bisa berjualan, juga sebelum sahur…”

Ibu itu hanya bisa pasrah ketika Abik dan petugas lainnya membereskan seluruh masakan yang sudah dimasaknya sejak pukul 3 dini hari tadi. Ia sebisa mungkin menahan air matanya tidak menetes.

“Ini peringatan kedua, sekali lagi saya lihat ibu masih berjualan, warung ini akan kami bongkar saja. “ ujar petugas lain rekan Abik. Dalam hati Abik merasa iba kepada si Ibu, tapi apa boleh buat, ia harus menjalankan tugasnya, dan ini juga demi membela agamanya.

Ibu pemilik warung akhirnya tidak dapat menahan diri dan menangis terisak saat Abik dan timnya membereskan hidangan jualannya. Ini namanya, cinta yang keras, ujar Abik menghibur dirinya sendiri. Sejak jaman Rasulullah, Islam ditegakkan tidak hanya dengan kelembutan, tapi juga dengan pedang dan perang. Abik dan timnya pun meneruskan sidak mereka sampai hampir menuju petang. Itu adalah hari yang melelahkan, tapi Abik merasa puas akan apa yang mereka capai.

*

“Masya Allah, luar biasa Ente,” ujar Syamsul melihat ke arah keningnya.

Abik hanya tersipu menanggapi Syamsul. Pagi itu ketika terbangun Abik terkejut, melihat ada satu bulatan baru di keningnya. Mirip satu tanda bekas sujud yang baru. Apakah ini adalah suatu pertanda berkah Allah yang bertambah pada dirinya? Ia mengusap wajah dengan penuh syukur. Ia meyakini tanda bekas sujud adalah bentuk capaian seorang yang beriman. Dan tanda itu muncul hanya beberapa hari setelah Abik aktif menegakkan aturan dengan melakukan inspeksi. Inikah pertanda dari langit?

Namun keesokan harinya, ia menemukan bulatan lain yang serupa. Kali ini bukan di kening tempat sujud melainkan melenceng ke dahi sebelah kirinya, mendekati pelipis. Abik merasa aneh, bagaimana mungkin tanda sujud tercetak di sana. Ia sudah berusaha menggosok keningnya agar tanda itu hilang, tapi yang terjadi malah bertambah jelas. Setiap hari, ia menemukan satu bulatan baru lagi di keningnya, di tempat yang bukan menjadi tumpuan sujud. Abik mulai merasa gelisah.

“Memang berbeda saudara kita ini, banyak sekali tanda sujudnya,” begitu celetuk Ridwan, seorang anggota jemaah. “Hanya orang istimewa saja yang punya tanda seperti itu,” lanjutnya ketika melihat wajah Abik berubah suram.

Muka Abik menjadi  masam. Ia kini berusaha menutupi keningnya dengan bandana atau kopiah yang kedodoran agar tak tampak bulatan bulatan biru kehitaman itu. Setidaknya kini ada 5 bulatan itu di keningnya, amat kentara.

Abik mulai merasa jengah dan berpikir setiap orang yang melihatnya pasti sedang memandang keningnya. Ia jadi mudah curiga, dan cepat tersinggung. Ketika menggunakan bandana pun, ada saja yang mengomentarinya.

“Dahimu jadi tidak kena langsung dengan tempat sujud, itu tidak boleh,” tegur seorang anggota jemaah yang bahkan tidak terlalu dikenalnya.  Abik menahan dirinya untuk menyahut. Ia sebenarnya bosan karena setiap kali membuka bandananya, ada saja yang akan menanyakan dahinya yang kini kelebihan tanda bekas sujud itu.

Abik tetap melaksanakan tugasnya dengan seksama. Ia rajin menggerebek rumah makan yang nekad menjual makanan siang hari. Tak hanya itu, malamnya ia pun ikut menginspeksi penginapan dan kamar-kamar kos  untuk menemukan apakah ada pasangan di luar nikah yang berada di dalam satu kamar.

Inspeksi ke kamar-kamar itu memang sudah pernah ia lakukan dulu namun ia sempat berhenti dan melakukan tugas lain.  Tentunya di bulan mulia ini pemeriksaan serupa harus kembali diintensifkan. Begitulah kegiatan Abik siang dan malam nyaris tanpa kenal lelah hampir setiap hari selama Ramadhan.

Namun satu hal yang membuatnya gelisah adalah tanda bekas sujud yang bertambah banyak di wajahnya.

Abik tidak mengerti mengapa bulatan itu menjadi bertambah banyak. Dulunya ia begitu menginginkan tanda bekas sujud itu di wajahnya, pada keningnya. Ia sengaja bersujud lama-lama untuk membuat tanda itu nyata. Dan itu tidak mudah, tidak terjadi dalam beberapa bulan. Kini hanya dalam hitungan minggu, ia sudah memiliki begitu banyak tanda bekas sujud, bahkan di tempat yang seharusnya tidak tertekan banyak ketika sujud.

Abik kini semakin banyak menunduk ketika berbicara dengan orang lain, apalagi lawan jenisnya. Selintas ia seperti orang yang sedang menjaga pandangan, padahal ia malu dengan keadaan mukanya yang penuh bulatan kebiruan itu.

Di hari Idul Fitri, Abik tidak terlihat mengikuti sholat Id. Hal itu mengundang tanda tanya dari Ridwan dan Syamsul teman-teman sejawatnya, yang langsung mengunjungi Abik ke rumah kontrakannya usai sholat.

“Abik, Assalamu’alaikum.. Abik?”

Lama mereka mengetuk pintu namun tak ada jawaban apapun. Ridwan mulai gelisah.

“Tidak biasanya Abik seperti ini ya? Kang Abik, Assalamualaikum.. ?”

Setelah cukup lama mengetuk pintu, akhirnya orang yang mereka nantikan tiba.

“Alhamdulillah, Ente masih hidup! Ane sudah khawatir sekali!” seru Syamsul menyambut Abik dengan gembira.

Yang disapa hanya tertunduk lesu dalam-dalam.

“Ente kenapa Abik? Heh kenapa?”

Ketika Abik mengangkat wajahnya, giliran teman-temannya yang ternganga. “Astaghfirullah…” desis mereka hampir bersamaan.

Wajah Abik memiliki begitu banyak tanda bekas sujud. Kini ia tidak hanya memilikinya di kening, tapi juga di area pipi kiri dan kanannya, serta dagunya.

Muka yang penuh dengan tanda yang seolah-olah adalah tanda bekas sujud. ***

Pernah dimuat di Qureta.com (https://www.qureta.com/post/tanda-bekas-sujud)

 

 

 

 

 

Published Stories Writings

Bukan Perawan Maria cerpen Relaksasi Beragama Relax It's Just Religion

Published January 23rd, 2019 by febyindirani

RENCANA PEMBUNUHAN SANG MUAZIN

Rencana Pembunuhan Muazin

Ilustrasi: Kiagoos Auliansyah/detikcom

 

Jakarta - Merencanakan pembunuhan bukanlah keahlianku, tapi aku percaya tidak ada hal yang tidak bisa dipelajari. Lagi pula tekadku sudah bulat. Setelah kupikirkan baik-baik, ini mungkin merupakan kontribusi terbesar yang dapat kulakukan kepada diriku dan juga lingkungan masyarakatku, kendati aku baru empat bulan menjadi warga di area ini. 

Aku sudah hafal kebiasaannya setiap hari dan dari sudut pandang perencana pembunuhan, ini tentunya bermanfaat. Ia sebetulnya tinggal di belakang musala, di rumahnya yang sempit dan sumpek. Ia paling sering terlihat berada di musala sejak waktu ashar. Ketika matahari terbenam dan waktu maghrib tiba, dia akan mengumandangkan azan dengan cengkok suaranya yang kuhafal. Kadang ia memimpin salat berjamaah, namun lebih sering ia membiarkan ustaz atau guru yang menjadi imam jika kebetulan mereka hadir. 

Ia akan mulai mengaji sejak pukul tiga dini hari, dengan suaranya yang lantang, dengan cara baca yang dilagu-lagukan namun tetap gagal terdengar merdu. Selama satu setengah hingga dua jam, ia akan mengaji hingga tiba waktunya mengumandangkan azan. Padahal seringkali aku baru pulang bekerja sekitar pukul 1.30, dan suara mengajinya membuatku terbangun dan gagal tidur hingga pagi. Rumahku yang tepat berada di samping musala, membuat mustahil untukku tidak mendengar suara mengajinya setiap malam. Sialnya aku tidak bisa tidur begitu ayam jantan berkokok. Tubuhku seperti sudah terbiasa terjaga di pagi hari. 

Aku bekerja sebagai satpam klub, tempat orang-orang yang punya uang melepaskan penat dan kebosanan. Di hari-hari kerja, klub tutup pukul 1 dini hari, sedangkan di akhir pekan tutup pukul 4 pagi. Untuk menambah penghasilanku, aku kadang mengambil beberapa pekerjaan sampingan, seperti menjadi sopir. Pendapatanku memadai, tapi cukup melelahkan secara fisik. Apalagi aku selalu sulit tidur dengan pengeras suara musala. Aku selalu merasakan suara itu seperti benar-benar sedang diteriakkan di telingaku.


Aku bukan tidak pernah meminta secara baik-baik kepada sang Muazin. Aku pernah sengaja ikut salat berjamaah dan kemudian mendekatinya. Memohon pengertiannya agar menghentikan kebiasaannya mengaji pada dini hari tersebut.

“Tahukah Saudara, sepertiga malam terakhir itu adalah waktu terkabulnya doa-doa? Setiap muslim pasti mendambakan waktu paling dekat dengan Allah. Karenanya saya mengaji di saat itu, untuk membangunkan orang-orang agar melakukan Salat Tahajud.”

“Tapi kan tidak semua orang ingin Salat Tahajud. Lagi pula kan tidak wajib?”

“Memang, tapi manfaatnya sangat besar. Tidak semua yang penting itu nyaman dilakukan, apalagi gampang, tapi manfaatnya sangat besar untuk diri masing-masing.”

“Tapi suara itu juga mengganggu warga yang non muslim!” 

“Yah, mungkin! Mungkin juga tidak. Koh Ahuang misalnya, dia bangun pukul 3 pagi, dan juga mulai berdoa dengan caranya sendiri. Juga teman-teman Tionghoa itu sangat rajin bekerja dari pagi-pagi sekali, itu yang membuat mereka sangat maju. Kita yang muslim ini harus belajar dan mencontoh mereka.”

“Tapi bagaimana dengan muslim seperti saya yang pekerjaannya membuat saya tidak punya waktu banyak untuk tidur di malam hari?”

“Insya Allah, Saudara akan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.”

Sial! Tidak ada gunanya sama sekali bernegosiasi dengan orang ini. Keyakinannya begitu teguh dan ia mengatakannya dengan ketenangan yang mesti kuakui mengagumkan. Aku hanya menganga ketika dia pamit, karena tidak ada yang bisa aku katakan lagi.

Dan, begitulah malam-malam tanpa tidurku yang sangat menyiksa pun terus berlanjut. 

Lama-lama tubuhku terasa semakin lelah, daya tahan tubuh melemah. Aku mulai bisa tidur pada pagi hari, tapi tidurku tak pernah benar-benar nyenyak. Apalagi kamarku menghadap ke timur, membuatku sulit bersembunyi dari matahari. Setiap kali sang Muazin mengaji atau mengumandangkan azan, aku kembali merasakan bising, merasa seperti kepalaku akan pecah. 

Tadinya aku pikir hanya aku saja yang merasakan penderitaan ini. Tapi ternyata beberapa kali ketika makan atau minum kopi di warung dekat rumah, aku pun mendengar keluhan serupa. Antara lain datang dari dua orang –sepertinya mahasiswa— yang tinggal berjarak beberapa rumah dariku. 

“Nasib kita ya, kos di sini,” keluh pemuda pertama. “Tiap dini hari aku selalu terbangun karena suara mengaji dari musala itu.”

“Ah betul! Aku juga. Apalagi ibu kosku baru memiliki bayi, dan si bayi sering jadi terbangun karena kaget dengan suara speaker musala yang keras banget itu.” 

Aku menyeruput kopiku pelan, berpura-pura abai meski terus memasang telinga. Dalam hati aku merasa menang karena mendapatkan pembenaran, ternyata bukan hanya aku yang terganggu dengan musala tersebut. Mungkin bahkan sudah waktunya melaporkan kepada Ketua RT bahwa musala itu sudah mengganggu ketentraman warga. Bukankah itu alasan yang kuat? 

Dan, ternyata Ketua RT bukannya tidak menyadari hal ini. 

“Ya, saya mengerti, Dik,” ujarnya hati-hati seusai mendengarkanku. “Saya mengerti,” ulangnya lagi sambil mengulas senyum yang ramah. 

“Bahkan Adik bukan orang pertama yang pernah mengadukan hal ini kepada saya,” lanjutnya. Hatiku berlonjak gembira. 

“Tuh benar kan, Pak? Speaker musala itu memang mengganggu sekali. Saya sudah pernah bilang kepada penjaganya, Pak Muazin itu. Tapi dia tidak peduli!” 

Ketua RT mengusap janggutnya, tampak berpikir sebelum kembali membuka mulut. “Saya sudah pernah menanyakan kepada beliau. Tapi menurutnya memang begitulah caranya menghidupkan musala. Lagi pula suara mengajinya itu menurutnya justru membantu lingkungan menjadi lebih aman yang mesti saya akui ada benarnya juga sih.” 

“Bapak hanya menanyakan? Bapak itu Ketua RT, sebetulnya berhak untuk memberikan teguran jika ada warga yang melanggar ketertiban umum, Pak,” ujarku, mulai kembali merasakan putus asa merambat di perutku. 

“Sabar, Dik, sabar. Saya mengerti maksud Adik. Saya pernah berkonsultasi ke Ketua RW, bahkan sampai ke Pak Lurah dan Camat. Tapi komentar mereka semua senada, mereka tidak berani menuding suara mengaji melanggar ketertiban umum, Dik. Itu kan kumandang ayat-ayat Allah. Takut kualat, Dik. Ya sama, saya juga takut.” 

Tubuhku lemas demi mendapat jawaban Ketua RT. Sungguh tidak berguna ternyata aku datang kepadanya. 

“Dik, sabar ya, ” ujarnya sambil menepuk bahuku. “Pelan-pelan akan saya berikan kesadaran kepada Pak Muazin. Tapi tidak bisa dipaksakan. Saya juga takut dilaporkan karena dianggap melanggar ekspresi beragama, bahkan jangan-jangan dituding melakukan pencemaran agama.” 

Dasar pengecut, batinku. Ada saja alasannya untuk tidak melakukan hal yang benar, hanya untuk merasa nyaman saja dengan keadaannya sekarang. 

Setelah itulah gagasan untuk membunuhnya muncul di kepalaku. Muazin itu sebaiknya mati saja. Aku harus melakukan tindakan yang berani demi kedamaian lingkunganku. Kalau bukan aku, siapa lagi? Tidak mungkin Ketua RT pengecut itu. 

Maka aku mulai memikirkan berbagai cara untuk membunuh si Muazin. Pekerjaanku membuatku tidak asing kepada aktivitas fisik yang keras. Aku pernah belajar ilmu bela diri, dan cukup mengerti titik-titik lemah tubuh manusia yang akan berdampak serius jika diserang. Antara lain di antara kedua mata, di urat leher, dan di selangkangan. Tapi membunuh adalah persoalan yang sama sekali berbeda. Dan aku mesti membuat kematiannya terkesan wajar, supaya tidak perlu ada yang mengusut kejadiannya dan bagaimana ia bisa meninggal. 

Setiap malam benakku terus bekerja, mencari cara terbaik untuk membunuhnya. Beragam gagasan muncul, dari mulai membubuhi racun pada makanan atau minumannya, sampai cara yang sangat langsung seperti menusuknya di tempat yang akan berakibat fatal, mengemas peristiwanya jadi perampokan, meskipun ia sepertinya hidup terlampau sederhana untuk mengalami kejadian seperti itu. Setiap kali suara mengajinya terdengar keras memekakkan telinga, kepalaku terasa mendidih, murka. Kubayangkan bayi yang terbangun, ibunya yang gelisah, orang-orang malang yang tercuri waktu tidurnya seperti aku. 

Aku membunuh sang Muazin setiap malam di dalam kepalaku. Ini semua tinggal masalah waktu, tekadku. Kuulang-ulang detail dari berbagai adegan pembunuhan itu. Aku akan melakukannya, aku akan menamatkan riwayatnya. Aku akan memperoleh kedamaianku dan berjasa bagi lingkunganku meskipun tidak akan mendapat pujian atau penghargaan apapun. 

Waktu tidurku semakin sedikit, sebagian karena suara si Muazin, dan sebagian lagi karena pikiran-pikiran untuk membunuhnya. Aku tak sabar ingin segera melakukannya dengan caraku sendiri. Kadang aku membayangkan mematahkan lehernya dengan sekali entak. Kadang aku terpikir langsung menghujamkan saja belati di jantungnya. Kadang kureka-reka, racun di minuman adalah cara paling mujarab.

Di hari ke-113 sejak hasrat membunuh itu terbit, aku pulang dari tempat kerjaku dengan keadaan sangat lelah. Ada yang berkelahi di klub, entahlah apa masalahnya, mungkin berebut perhatian perempuan atau apalah. Salah seorang dari mereka sempat meludahiku saat aku berusaha memisahkan mereka. Betul-betul brengsek. Aku pulang ke rumah dengan keadaan murung pada pukul 2.30 dan kian jengkel mengingat bahwa sebentar lagi aku akan mendengarkan suara si Muazin. 

Apakah sekarang waktu yang tepat untuk membunuhnya? Jika sekarang, aku sebaiknya akan menggunakan kayu atau bata saja, dan langsung meremukkan batok kepalanya. 

Tapi hingga lewat pukul tiga, tidak ada suara apapun dari musala. Selama ini Muazin tidak pernah terlambat, sekalipun. Apa yang terjadi? Waktu terus berlalu, dan aku malah tetap gagal tidur karena bertanya-tanya ke mana si Muazin itu? Apakah ia sakit? Apakah ia sedang mudik atau keluar kota? Selintas pikiran menyenangkan muncul di kepalaku, apakah aku sudah berhasil membunuhnya hanya dengan kekuatan pikiran seperti yang sering dikatakan para motivator di televisi itu? 

Membayangkannya membuatku menyeringai puas, namun sejurus kemudian aku tertidur pulas. 

Aku baru terbangun kira-kira menjelang pukul 12 siang ketika ada suara dari speaker musala yang menyampaikan pengumuman berulang-ulang. Pikiranku belum begitu jernih dan mataku masih berat oleh kantuk, namun kurasakan seperti ada yang berbeda dari suara itu. Kutajamkan telingaku dan perlahan otakku mulai mencerna. 

“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Telah berpulang ke rahmatullah, Muazin, pukul dua dini hari. Jenazah akan disalatkan hari ini bakda Salat Zuhur. Bagi yang ingin ikut menyolatkan dipersilakan segera bersiap-siap.”

Aku langsung terduduk demi mendengar pengumuman itu. Astaga! Itu betulan terjadi! Muazin wafat! Aku merasakan kegembiraan membuncah. Dengan gerakan cepat aku langsung bangkit hendak menuju kamar mandi. Aku berencana mendatangi musala untuk memastikan kabar gembira itu. Dengan terhuyung-huyung aku berjalan ke kamar mandi, yang eh sial kenapa licin sekali? Aku hanya sempat tersentak ketika aku terpeleset dan kepalaku menghantam lantai sebelum akhirnya merasakan pandanganku gelap. 

Rasanya tidak lama aku pingsan, atau mungkin tidur. Sialan, badanku terasa basah dan dingin. Ketika terjaga, pikiran yang pertama yang muncul adalah penyesalan karena terlambat membersihkan kamar mandi yang menjadikan lantainya terlalu licin. Itu semua karena aku selalu merasakan kelelahan yang sangat setiap harinya, karena kurang tidur yang terus menerus. Semua salah Muazin itu! Dia memang pantas menjadi orang yang bertanggung jawab atas semua keadaan tidak enak dalam hidupku. Dan eh, aku ingat tadi mendengar kabar bahwa dia sudah meninggal. Bagus untuknya, bagus untuk warga kampung ini. 

Pukul berapa sekarang? Sepertinya sudah sore, meski aku tidak tahu berapa lama aku pingsan akibat terjatuh. Lamat-lamat aku mendengar suara mengaji, awalnya pelan, lalu makin lama makin keras, tapi seperti bukan menggunakan speaker. Seperti ada seseorang yang duduk di sampingku.

Ketika aku membuka mata, barulah aku menyadari, aku tak lagi berada di kamar mandiku. Pemandangan di sekelingku sudah berubah menjadi hamparan padang rumput yang amat luas. Hanya berjarak beberapa meter saja, aku melihat Muazin itu, sedang tekun mengaji. 

Aku ternganga, lalu menjerit sekuat-kuatnya. Tapi aku tak bisa mendengar suara jeritanku sendiri. Yang kudengar hanya suara mengajinya yang semakin kuat.***

Pernah dimuat di rubrik Cerita Pendek Detik.com (https://hot.detik.com/art/d-3561130/rencana-pembunuhan-sang-muazin), Sabtu, 15 Juli 2017.

 

Published Stories Writings

Bukan Perawan Maria cerpen Relaksasi Beragama Relax It's Just Religion

Published January 23rd, 2019 by febyindirani

TRAGEDI JUMAT SIANG

bruised_and_battered

Denyut jantungnya berdebum seperti bedug. Matanya yang terpaku pada jalan sempat menyipit silau akibat teriknya siang itu. Ahmad mengendalikan mobilnya dengan kecepatan tinggi sejak 30 menit lalu ia memulainya, namun saat ini jalanan yang dilaluinya mulai padat. Brengsek, ia merutuki keterlambatannya. Tapi waktu tak bisa diputar ulang.

Seharusnya ia berangkat lebih awal. Ini Jumat siang di kotanya, dan jalan akan mulai padat bahkan sebelum waktu makan siang. Jumat adalah hari yang pendek, begitu sebagian orang menyebutnya. Terlambat bergerak hanya dalam selisih 10-15 menit saja bisa menimbulkan perbedaan waktu tiba yang signifikan di tempat tujuan. Orang-orang di kota ini tahu benar konsekuensi selisih waktu tersebut. Dan sekarang Ahmad harus menelan konsekuensi itu.

Keringat membasahi dahinya yang terpapar matahari. Rambutnya yang ikal jadi lepek dan lengket Tangan kirinya memutar tombol pendingin hingga maksimal. Harus sampai tepat waktu, pikirnya. Aku tidak bisa terlambat. Ahmad membuka kancing atas kemejanya, dan menggulung kedua lengan bajunya. Di hadapannya berlalu lalang sepeda motor, yang menyelip ke sana kemari, bertebaran seperti lalat yang gesit. Andai aku mengendarai motor saja, pikirnya. Tapi waktu tidak bisa diputar ulang.

Mobilnya masih dapat merayap perlahan, ada sumbatan jalan karena dari tiga lajur kemudian harus menyempit ke satu jalan yang lebih sempit. Namun setelah jalan ini, Ahmad memperhitungkan jalannya akan lebih lancar. Ia tidak boleh terlambat.

Sesudah melampau jalan utama yang lempang dan sibuk, Ahmad akhirnya berbelok. Namun baru 200 meter ditempuhnya, terlihat bangku kayu panjang melintang di tengah jalan. Ahmad memukul stirnya. Dari kaca spion depan dilihatnya ada mobil lain senasib dengan dirinya.

Seorang pria bertopi dan berkaos putih kusam melambai-lambaikan tangan, gerakan menyuruh mereka pergi. Usianya paling 50-an, dengan muka kehitaman dan kulit yang kering menandakan aktivitasnya yang terlalu sering berada di ruang terbuka. Mungkin seorang hansip atau tukang parkir. Ahmad membuka jendela mobil, masih berusaha bersikap sopan.

“Ada salat Jumat, putar arah lain saja! “ serunya.

“Ini jalan paling cepat ke tujuan saya,”  ujar Ahmad, menekan nada suaranya sedapat mungkin agar tidak kedengaran kesal.

“Nggak bisa Mas, jalan ini ditutup karena ada salat Jumat. Silakan cari jalan lain. “

“Bapak, tolong jangan persulit saya. Tolong sekali Pak..”

“Ya nggak bisa Mas, emang urusan Mas apa sih sampai lebih penting daripada ibadah?”

“Aduh urusan penting itu kan bukan hanya ibadah Pak, tolong Pak, saya diburu waktu sekali.”

“Masnya ini kok ngeyel toh? Sampeyan kafir ya? Kafir? Sudah dibilang ini mau salat Jumat, balik arah sekarang!” tiba-tiba suara terduga hansip atau mungkin tukang parkir itu menggelegar dan begitu otoritatif. Ahmad merasakan emosinya naik ke ubun-ubun. Bapak di hadapannya pun melotot sambil berkacak pinggang.

Dua orang pria yang semula agak jauh posisinya dari mereka, bangkit dengan gerakan waspada dan mendekat, siap memberikan dukungan kepada rekan mereka. Perdebatan sia-sia, rutuk Ahmad. Mobil di belakangnya sudah mulai bergerak untuk putar balik. Ia pun harus mengambil langkah yang sama.

“Brengsek! Djancuk! Sial!“ Ahmad hanya bisa memaki-maki di dalam mobilnya. Ia memutar mobil kembali menuju ke jalan utama. Sempat dilihatnya para pria yang tadi menghadangnya masih berkacak pinggang.

Ahmad sibuk memutar otak, ke mana lagi harus menempuh jalan. Kerongkongannya terasa kering. Ia memacu mobil sebisanya dan memutuskan mencoba jalan alternatif. Semoga yang ini tak ditutup, pikirnya.

Harapannya ternyata tak terjadi, karena kini di hadapannya ada sebuah papan bertuliskan “Mohon Maaf Ada Salat Jumat.“

Ahmad kembali berteriak memaki. Seorang lelaki muda mungkin baru 17 tahunan, mengangguk sambil cengengesan kepadanya. Giginya besar-besar cenderung tonggos, rambutnya lurus-lurus seperti jerami, kemerahan karena kurang gizi.

“Maaf Pak, jalannya ditutup. Cari jalan lain aja Pak..”

“Aduh saya sudah terlambat ini, tadi di sana ditutup, di sini ditutup lagi. Saya harus lewat mana?” gerutu Ahmad.

“Ya gimana Pak, tugas saya menjaga aja. Bapak silakan cari jalan lain.”

“Saya ini penting banget harus segera sampai, tolong deh buka jalannya sebentar saja.”

“Ya nggak bisa Pak. Lagian Bapak ini kok gak salat Jumat? Emang bukan Islam?”

“Urusan kamu apa kalau saya Islam atau bukan?”

“Yee marah, ya kalau Islam mending salat aja Pak, parkir aja di sana. Kalau nggak Islam ya berarti harus menghargai dong! “

Muka Ahmad merah padam. Ia menelan kata-kata makiannya. Percuma membuang waktu dengan cecunguk kurus ini. Ia tidak boleh terlambat. Dan waktunya kian mendekat.

Ia kembali memutar arah mobilnya. Rasa frustrasi mulai menguasai dirinya. Ia melirik jam tangannya. 15 menit lagi waktu tersisa. Sudah dua jalan paling dekat ke arah tujuannya yang ditutup. Ia kembali mengendarai mobilnya, mencari jalan alternatif, menjajal peruntungannya.

Jalan tampak lengang. Ia memacu mobil lebih cepat. Kali ini tidak boleh salah, desisnya. Waktuku sebentar lagi.

Namun kira-kira 500 meter dari tujuanya, plang itu kembali terlihat. Ada Sholat Jumat Dilarang Melintas. Ahmad membelalakkan matanya. Ini mustahil! Makinya.

Aku tidak bisa terlambat. Rasa gusar dan kemarahannya memuncak. Ia menginjak terus pedal gasnya abai pada tanda-tanda. Seorang bocah kurus berbalutkan sarung tiba-tiba berlari  dari tepi jalan, berusaha menghalangi mobil Ahmad yang terus melaju.

Decit suara rem yang diinjak terngiang panjang. Plang pengumuman rebah ke jalan. Sosok tubuh kurus itu rebah di jalan. Ahmad turun dari mobilnya dengan kepanikan luar biasa memeriksa tubuh itu.

Bangun, sialan! Bangun! Kenapa kamu tiba-tiba muncul seperti hantu?

Sejurus kemudian, ia merasa lega karena dada bocah itu bergerak naik turun. Ia memeriksa tubuh anak itu dengan seksama. Tak ada luka apapun. Tapi mukanya mengkeret seperti cemas.

Buka matamu! Kamu tidak apa apa kan?

 

“Bapak ini keterlaluan ya! Sengaja menabrak plang dan anak yang menjaga!”

“Siapa orang ini, jahanam betul, berani-beraninya melanggar jalan yang disterilkan untuk ibadah”

“Mau tabrak lari ya, jangan coba-coba ya!”

Ahmad baru tersadar bahwa ia sudah dikelilingi oleh begitu banyak orang. Semuanya menatapnya dengan sorot mata geram.

“Kenapa kamu langgar batas? Kamu buta huruf apa?”

“Dasar orang kaya sombong, kamu pikir kamu siapa?”

“Nggak menghargai sama sekali! Ini jalan sudah dikosongkan untuk ibadah! “

Keringat membanjiri tubuh Ahmad. Ia tahu ia sudah terlambat. Sayang waktu tidak bisa diputar ulang. Kini ia malah harus terjebak di dalam kerumunan manusia. Ia mencoba berkata-kata tapi tak satupun yang ia sendiri pun dapat mendengarnya.

Kata-kata menghujam kepala, dada, perut, paha, kakinya. Kafir. Keterlaluan. Sombong. Melanggar. Durhaka. Setan. Neraka. Ia merasakan tamparan bertubi-tubi pada tubuhnya. Lalu pandangannya mulai mengabur. Kafir. Sombong. Durhaka. Setan. Neraka.

Kata-kata itu yang terakhir didengarnya sebelum segalanya menghitam.***

 

Dimuat pertama kali dalam Qureta.com (tautan: https://www.qureta.com/post/tragedi-jumat-siang)

 

 

 

 


Published Stories Writings

Bukan Perawan Maria cerpen Relaksasi Beragama Relax It's Just Religion

Published January 23rd, 2019 by febyindirani

BABY INGIN MASUK ISLAM

baby

 

Sidang Majelis seketika menjadi ramai riuh rendah karena suatu kabar yang dibawa Kyai Fikri, yaitu seekor babi bernama Baby menyatakan keinginannya untuk masuk Islam. Dari berbagai penjuru ruangan, ucapan ‘Astaghfirullah’ menggema, sebelum kemudian berbagai tangan serentak terangkat untuk meminta kesempatan bicara, sedangkan sebagian peserta sidang lainnya bahkan tidak merasa perlu meminta ijin dan langsung saja mencerocos. Pimpinan sidang sempat kewalahan dan akhirnya menghentikan sidang selama 30 menit.

Setelah itu, majelis memutuskan untuk menyidang Kyai Fikri yang menjadi sumber berita kontroversial tersebut.

Bagaimanapun menyidang Kyai Fikri bukanlah sesuatu yang mudah, karena ia dikenal sebagai kyai yang disegani. Tubuhnya tidak tinggi, kurus dan cenderung tampak ringkih. Tapi tatapan matanya tajam dan jernih. Ia memiliki aura yang kuat, yang membuat orang akan segan kepadanya. Umurnya sulit ditebak jika hanya melihat penampilannya.  Ia tampak matang, dengan janggutnya yang pendek dan rapi, sekaligus kelihatan cukup muda secara keseluruhan karena sikapnya yang cederung rileks.

Ia mengucapkan salam dengan suaranya yang dalam, dan seluruh ruangan mendadak senyap.

“Baby menunjukkan kesungguhannya untuk masuk Islam, dan saya termasuk orang yang percaya, hidayah bisa mengubah dan menyentuh siapa saja. Jika kita meyakini Islam menjunjung nilai keadilan, saya rasa kita mesti memberikan Baby kesempatan. “

“Maaf Kyai,” ujar seorang peserta majelis. “Apakah itu berarti Baby akan mengubah perilaku-perilaku anehnya?”

“Aneh itu kan menurut kita, karena ia berbeda dengan kita. Baby akan tetap menjadi babi sesuai sunatullah.“

Bisik bisik memenuhi seisi ruangan. Seorang peserta muda mengangkat tangan. “Kyai, saya ingin tahu kenapa Kyai begitu membela Baby, tapi sebelumnya saya penasaran, bagaimana Kyai bisa ada hubungan dengannya? Bukankah ia makhluk haram?”

“Saya memelihara ternak, antara lain babi,” sahut Kyai Fikri tenang. “Haram untuk memakannya, tapi tidak untuk memeliharanya kan?”

Ruangan kembali berisik. Kyai keblinger, bisik mereka.

“Mohon maaf Kyai, tapi untuk apa?”

“Saya memberi makan orang-orang di kampung-kampung yang kehidupannya sangat miskin. Hewan-hewan ternak lain terlalu mahal, sementara satu kali mengandung babi bisa memiliki 20 anak. Ia termasuk jenis binatang yang paling banyak memiliki keturunan. Itulah awalnya saya memutuskan memelihara babi.”

“Kenapa Kyai tega memberi makan orang-orang miskin dengan babi?”

“Mereka terlalu miskin, dan mereka bukan Islam. Terlalu mewah bicara agama dengan mereka, agama mereka mungkin hanya makanan, dan air bersih,” Kyai Fikri menyapukan pandangannya menatap wajah-wajah peserta majelis yang memandangnya tanpa berkedip.

“Saya sering menginap di kampung tersebut, bersama penduduk, tinggal di langgar kecil, tidak begitu jauh dari kandang babi. Saya sholat dan mengaji seperti di mana pun saya berada. Lalu suatu saat ketika saya keluar, ada seekor babi betina yang selalu memandangi saya, seperti menunggu. Seperti  selalu ingin mengatakan sesuatu. Babi itu sudah cukup tua, berusia 15 tahun dan tidak bisa beranak lagi. Karena seringnya ia melakukan itu, menunggu dan seperti ingin menyampaikan sesuatu, saya menamai dia Baby, dan dia tampak mengerti bahwa itu adalah nama yang saya berikan untuknya.”

Ia terdiam sesaat, mengambil nafas. “Atas ijin Allah, ia bisa menyampaikan keinginannya, dan saya bisa memahami maksudnya. Ia menyatakan ingin menjadi  pemeluk Islam di hari-hari akhir hidupnya.  Ia tahu akan segera mendapat giliran dipotong, dan ia ingin permintaannya dipenuhi. ”

Suasana ruangan riuh rendah, karena begitu banyak peserta berbicara di saat yang sama. Saling debat, saling sanggah.

“Bagaimana mungkin seorang Kyai yang mulia  bisa bergaul dengan Baby? “

“Tidak akan kita biarkan! Seluruh hal tentang babi itu haram. Seluruh zatnya. Titik.“

 “Apa hak kita  melarang siapa pun untuk masuk Islam? Katanya Islam itu rahmat bagi semesta alam?”

“Memangnya apa agama Baby sebelumnya? Kenapa dia ingin masuk Islam sekarang? “

“Kalau Anda melarang Baby masuk Islam, artinya Anda bersikap tidak adil. Dan itu adalah sikap yang dibenci Allah dan Rasulnya.”

“Tapi apa kita semua mau satu agama dengan Baby? Itu kan menurunkan derajat kemanusiaan kita.”

“Tubuh kita dan Baby itu sangat mirip. DNA kita hanya berbeda 3 persen dari mereka, jadi sesungguhnya kita lebih dekat dengan mereka daripada yang kita bayangkan.”

“Lantas kemudian dia jadi boleh masuk Islam? Kan kita sudah tahu keanehan-keanehan Baby.  Tentang tabiat yang kotor dan malas. Juga karakternya yang tak jelas, bisa menyerupai binatang buas karena ia bertaring dan makan daging tapi juga dia mirip binatang jinak karena berceracak dan makan dedaunan….”

“Terdengar semakin mirip dengan kita kan?”

Gema ‘Astaghfirullah’ kembali terdengar dari berbagai penjuru ruangan. Tidak ada yang mendengar satu dengan lainnya dan masing-masing orang hanya sibuk dengan pendapatnya sendiri-sendiri. Pimpinan sidang memerintahkan untuk reses selama 2 jam  untuk membahas persoalan ini.  Para peserta sidang  pun secara alamiah langsung membentuk kelompok yang dirasa cocok dan sepikiran dengan mereka.  Setiap anggota majelis saling beradu argumentasi tentang bagaimana harus menyikapi persoalan Baby.

Sidang kembali dimulai dan  peserta sidang diminta melakukan voting dalam pengambilan keputusan. Kelompok pertama yang paling besar jumlahnya atau sekitar 40 persen dari majelis adalah mereka yang jelas menolak Baby, tidak ada pertimbangan dan tidak ada kompromi.

Sementara sebanyak 35  persen secara prinsip tidak setuju, tapi meyakini mereka perlu memanggil Baby untuk mendengarkan dari sisi Baby. Kelompok ini meyakini bahwa Majelis mesti bersikap tepat secara politis dan bagaimanapun harus mengusung prinsip-prinsip keadilan.

Kelompok berikutnya, 23 persen, adalah kelompok yang mendukung Kyai Fikri, kelompok ini kecil tapi memiliki suara yang biasanya didengar oleh mayoritas anggota, karena posisi dan status sosial mereka yang dihormati publik. Di dalam kelompok ini sebetulnya termasuk juga adalah orang-orang yang menyetujui semata karena mengagumi Kyai Fikri dan keunikannya. Sisanya abstain, adalah mereka yang tidak tertarik dengan konflik dalam bentuk apapun juga.

Masing-masing kelompok berdebat satu dengan yang lainnya, dan keputusan belum dapat diambil karena belum ada suara mayoritas. Akhirnya karena hari sudah larut, sidang harus dihentikan terlebih dulu dan dilanjutkan esok hari.

Dalam peta perebutan suara, kelompok 35 persen itu diperebutkan oleh dua kubu lainnya.  Kelompok 40 persen tentu saja merasa mereka seharusnya sedikit lagi memenangi keputusan ini, dan akan begitu mudah jika kelompok 35 tidak terlampau etis. Untuk apa sok etis, jika hasil akhir sudah jelas, yaitu tidak setuju. Tapi kelompok 35 terdiri dari mereka yang sangat menyukai proses dan sangat ingin majelis tampak bagus di mata publik.

Sementara itu, secara prinsip, kelompok 23 jelas memiliki sikap yang berbeda. Mereka pun sebal pada orang-orang dari kelompok 35 yang mereka nilai terlalu mementingkan pencitraan, haus pujian, dan tidak konsisten. Namun kelompok 35 memiliki jumlah yang cukup besar, dan ada keinginan untuk melakukan proses yang adil betapapun itu hanyalah kosmetik belaka. Kelompok 23 menimbang, jika setidaknya mereka bisa menghadirkan Baby dalam sidang, itu sudah merupakan suatu langkah besar, plus peluang bahwa keinginannya dapat dikabulkan majelis—seberapapun kecilnya kemungkinan itu.

Debat dan negosiasi yang terjadi begitu alot, bahkan untuk sekadar menghadirkan Baby di sidang majelis. Karena bagi banyak peserta itu akan menjadi kali pertama dalam hidup mereka memiliki interaksi dengan babi.  Sidang tertunda selama dua hari tanpa ada solusi.

Setelah proses yang panjang itu, di hari ketiga anggota majelis melakukan voting akhir. Hasilnya, Majelis secara resmi menolak Baby untuk menjadi Islam.

Wajah Kyai Fikri tampak mendung. Dia minta ijin untuk menyampaikan kata-kata terakhir sebelum sidang majelis resmi dibubarkan.

“Bagaimanapun, saya berterimakasih untuk proses yang sudah melibatkan kerja keras dari semua peserta majelis untuk memutuskan hal ini. Saya benci membuat Baby kecewa, tapi saya akan kembali ke kampung dan mengatakan kepadanya, Baby siapapun bisa menjadi islam dengan bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah,” mata Kyai Fikri tampak berkaca-kaca. “Tidak ada yang bisa menghentikan siapapun menjadi Islam, meskipun orang Islam sendiri menolaknya. Itu yang akan saya katakan pada Baby.”

Ruangan senyap, dan sebagian peserta ikut terharu, memikirkan Baby yang akan kecewa karena mengalami penolakan di pengujung hidupnya. Bagaimanapun, keputusan sudah diambil, mereka bersalam-salaman dan berpamitan, saling mengucapkan maaf dan terimakasih untuk proses persidangan yang dilakukan selama tiga hari.

Sebelum pulang, salah seorang peserta sidang menggamit lengan Kyai Fikri dan berbisik di telinganya.

“Kyai, saya boleh ikut ke kampung?” pintanya sambil tersipu. “Karena Baby sudah masuk Islam, saya ingin ikut mencicip dagingnya.” ***

* Cerpen ini diterbitkan pertama kali di Qureta.com (link: https://www.qureta.com/post/baby-ingin-masuk-islam).

**Catatan: Cerpen ini diilhami antara lain oleh sebuah komik terbitan independen dari Jogjakarta, Abdul Mutholib, Babi Masuk Islam, karya Bambang Toko.

 

 

 

Published Stories Writings

Bukan Perawan Maria cerpen Relaksasi Beragama

About Me

Feby Indirani, Penulis,Jurnalis, meraih Anugerah Pembaca Indonesia 2010 kategori non fiksi untuk bukunya I can (not) Hear: Perjalanan anak tuna rungu menuju dunia mendengar . Penikmat pagi hari, perjalanan dan percakapan. Penggemar buku, film dan tidur lelap. Lebih banyak tentangnya bisa dilirik di febyindirani.com atau ocehan yang kadang penting di akun twitternya @FebyIndirani

Search

Recent Posts

  • BUKAN PERAWAN MARIA
  • THE WOMAN WHO LOST HER FACE
  • RUANG TUNGGU
  • TANDA BEKAS SUJUD
  • RENCANA PEMBUNUHAN SANG MUAZIN

Recent Comments

    febyindirani.com 2014