Brengsek! Virni merutuk dalam hati. Wajahnya terasa panas. Ia bisa merasakan denyar jantungnya memompa darah dua kali lebih cepat. Ia tidak mengira akan mendapat kejutan di malam hari. Apalagi dari perempuan yang telah menganggu ketenangan hidupnya selama beberapa bulan terakhir.
“Halo Virni, lo masih di sana?” panggil Sandra produserVoice FMdi ujung telepon.
Hening sesaat. Virni meletakkan tasnya lalu terduduk di sisi tempat tidurnya. Ia belum lima menit tiba di kamarnya ketika Voice FM, radio yang sangat beken di kalangan anak muda itu tiba-tiba menelponnya. Tubuhnya yang masih terbalut kemeja putih dan jeans bergerak mencari sandaran.
Virni mendehem sebelum menjawab. Kerongkongannya tercekat. “Ya?”
”Kalau bersedia, kamu akan on air sebentar lagi. Gimana Vir, ok kan? “ suara alto yang agak serak itu kembali terdengar.
Virni bisa saja mengatakan tidak. Tidak, ia tidak mau bicara dengan perempuan murahan itu. Tidak, ia tidak sudi seisi kota ini mendengar masalah keluarganya. Tapi Mandy, perempuan perusak ketenangan keluarganya itu sudah melangkah terlalu jauh. Mengumbar masalahnya di ruang publik seperti ini? Apa sih yang dia inginkan? Minta dikasihani? Mencari simpati? Dasar Ratu Drama!
Sudah kepalang. Virni merasa Mandy sedang menantangnya secara terbuka, seperti menyorongkan pedang mengajak bertarung. Virni tak akan mundur. Demi almarhum Mama dan kehormatan keluarganya. Perempuan jalang itu pun pantas diberi pelajaran.
“Ya, gue siap..” sahut Virni kemudian. Lalu menarik nafas dalam, menghimpun kekuatan.
“Ok Virni, kamu akan langsung dihubungkan dengan Benny dan Susan juga Mandy. “ suara produser bernama Sandra yang serak dan enak didengar itu terdengar menenangkan. Andai situasinya berbeda, Virni akan melonjak gembira, karena kedua penyiar ini adalah favoritnya, salah satu duo penyiar paling terkenal se-Jakarta raya. Namun kini ia hanya merasakan pergulatan dalam perutnya.
Virni kini bisa mendengar suara Benny dan Susan yang sedang on air. Tampaknya mereka sedang membacakan tanggapan pendengar yang masuk melalui akun twitter Voice FM.
“Ya Paramuda, itu beberapa tanggapan dari Paramuda ysudah mendengar cerita Mandy. Dan Mandy ini pengen banget punya kesempatan untuk ngomong kepada keluarga kekasihnya.” Terdengar suara macho milik Benny. “Di Dare to be Honest kali ini, kami sudah berhasil menghubungi Virni putri kekasinya, supaya Mandy bisa langsung ngomong jujur kepada Virni, apa sebetulnya yang ingin disampaikannya.
“Selamat malam Virni.. Terimakasih sudah bergabung di program Dare to be Honest,“ sapa Susan dengan suara empuknya. “Siap ya Vir,Mandy akan langsung ngomong sama lo untuk menyampaikan isi hatinya..”
Hening sejenak. Virni menunggu dengan berdebar.
“Virni, ini gue Mandy..” Terdengar suara yang manja, seperti orang yang menyeret-nyeret langkahnya. Mendengarnya, Virni merasakan tekanan darahnya langsung melonjak.
“Iya gue tahu!Mau apa lo?” Virni memotong galak.
Terdengar Mandy menghela nafas. “Virni, sori banget. Gue sengaja pakai cara ini karena gue udah nggak tahu lagi, gimana caranya ngomong sama lo.”
“Norak amat sih pake telepon-telepon radio segala!Lo tuh emang kampungan ya!”
“Virni, please dong..” suara lembut Benny kembali terdengar, menengahi. “Mandy mau coba menyampaikan sesuatu. Dan Paramuda se-Jakarta raya ini lagi dengerin kalian. Ayo dong kita belajar menyelesaikan persoalan secara dewasa. Silakan Mandy, lanjut..”
Mandy kembali menghela nafas.
“Virni, gue cuma mau bilang, gue dan Mas Bara saling mencintai. Cinta kami itu murni, tulus. Lo udah dewasa Vir, lo pasti ngerti bagaimana rasanya mencintai seseorang. Gue dan Mas Bara sudah saling merasa cocok, saling membutuhkan..”
Suara Mandy mengalun hati-hati. Kata demi kata lahir dengan jeda yang tertata.Ia pasti sudah merencanakan drama ini dengan baik. Perut Virni langsung mual mendengarnya. Segala kemarahan mendesak kerongkongannya. Terbayang lagi ejekan yang kerap diterimanya dari teman-temannya karena hubungan Mandy dan papanya.
“Aaah! Stop ngomong Mas Bara, Mas Bara! Dia itu bokap gue tau! Dan dia 25 tahun lebih tua dari lo! DUA PULUH LIMA TAHUN! Apa lo ini nggak laku sama cowok yang mudaan? Jalan kok sama Om-Om! Dasar jablai lo!” pekik Virni.
“Vir.. sabar Vir,” kini giliran Susan yang menengahi. “Ayolah Virni, biarin Mandy selesain dulu omongannya..”
Benny mengacungkan jempolnya ke arah produser Dare to be Honest, Sandra yang mengawasi dari ruang operator.
<T O P B A N G E T> Benny komat-kamit dengan wajah cerah.
Sandra menggangguk tanpa senyum. Ia melirik layar komputer yang menampilkan halaman Twitter dan menyaksikan mention akun Voice FM terus bertambah dalam hitungan detik. Dare to be Honest memang menjadi acara unggulan sejak mulai diluncurkan tiga bulan lalu.
Sandra mengklik window lainnya, dan halaman akun Facebook Mandy Widyasari langsung terbuka. Di foto profilnya, Mandy memasang fotonya dengan seorang pria matang dengan rambut keperakan yang menyebar dan senyum yang mampu membuat jantung perempuan muda berdebar. Mandy berkulit cerah dengan rambut lurus model bob yang di-highligt keunguan, mengenakan kemeja hijau toska dengan dua kancing atas terbuka. Sementara pria di sampingnya mengenakan polo shirt putih yang mencetak otot-otot dadanya yang bidang. Pria yang tertempa oleh perjalanan hidup, lengkap dengan dirinya sendiri, dan yang jelas terlihat sangat menarik. Bara Ananta.
“Virni, berhenti merasa benar sendiri, gue sudah kehabisan akal untuk menyampaikan ke elo betapa gue sebenarnya ingin mengenal lo lebih jauh dan bersahabat sama lo. Karena hubungan gue sama Mas Bara akan segera melaju ke tahap berikutnya, mau nggak mau kita akan sering ketemu Vir… “ ujar Mandy. Tampak jelas terdengar ia berusaha mengendalikan emosinya.
“Ke tahap berikutnya? Maksud lo? Mau lo apa sih? Nggak cukup apa lo ngerusak hidup gue?” terdengar pekik Virni lagi.
Sandra menahan nafas. Pertunjukan di udara ini semakin seru. Mention akun Voice FM dan retweet terus bertambah dalam hitungan mencengangkan.
“Gue? Ngerusak hidup lo? Nggak Virni! Nggak. Please jangan potong omongan gue!” suara Mandy bergetar. “Gue yang udah nggak tahan lagi dengan semua SMS-SMS gelap memaki-maki dua bulan terakhir ini. Gue nggak tahan lagi surat-surat kaleng itu! “
“Heh, lo nuduh gue lagi!”teriak Virni.
Mandy terus bicara, “Papa lo aja udah kehabisan cara untuk ngomong supaya lo mau denger : kami saling mencintai dan nggak ada yang bisa mengubah itu. Kenapa sih lo nggak mau lihat dia bahagia?” “
“Heh! Denger ya! Lo jangan sekali-kali ajarin gue soal kebahagiaan bokap gue!” Virni terengah. “Gue ini anaknya dan gue tahu banget apa yang bikin dia bahagia dan apa yang nggak. Selama ini hidup kami baik-baik aja kok!Sampe cewek gatel kayak elo, lonte yang doyan morotin Om-Om mulai masuk dalam kehidupan dia!”
“Virni.. ayo dong Vir jaga kata-kata lo..” potong Benny, halus tapi tegas. “Come on, kita udah sama-sama dewasa. Dan Paramuda yang dengerin kalian juga berharap kalian bisa menyelesaikan masalah ini baik-baik..”
“Gue nggak peduli!” kata Virni dengan suara tinggi. “Gue nggak peduli orang sedunia mau denger atau nggak! Denger ya. Mandy itu emang perek yang morotin bokap gue! Semua orang juga tahu kok! Dia lagi bikin tugas akhir dan nggak punya duit buat nyelesain kuliah. Makanya dia deketin om-om berkantong tebel!Supaya bisa dibeliin ini-itu! Ayo Ndy, ngaku lo!”
Sandra memberikan tanda ke arah Susan dengan memukulkan tangan kanannya ke telapak tangan kirinya sebagai isyarat waktunya melakukan intervensi.
“Virni,” panggil Susan dengan nada membujuk. “Pernah nggak sih lo pikir, bisa jadi bokap lo dan Mandy memang benar saling sayang? Sori, kata Mandy bokap lo udah lima tahun lamanya menduda sejak Mama lo wafat. Dan sebagai pria normal dia punya kebutuhan pribadi juga. Coba deh, lo dan adek-adek lo udah gede, punya kehidupan masing-masing. Wajar kan kalau bokap lo perlu teman? Tapi perempuan yang dekat dengan bokap lo sebelum ini pun selalu susah mau masuk ke anak-anaknya…”
“What?” Virni seperti tersedak. “Gila ya lo Ndy! Lo ember banget sih! Lo bocorin semua cerita bokap gue, keluarga gue ke orang luar? Gila lo emang!”
Dua detik berikutnya hanya nafas yang terdengar merambati gelombang udara.
“Ok. Kalau kalian semua mau denger,” Virni menghela nafas. Ia merendahkan nada suaranya.
“Biar adil, ini versi gue. Mandy itu mahasiswa fakultas ekonomi di sebuah universitas swasta terkenal, di mana bokap gue, Bara Ananta pengusaha sukses, beberapa kali jadi dosen tamu di sana. Mandy yang deket-deketin bokap gue, pura-pura minta bimbingan soal skripsilah, apalah. Padahal dia cuma cewek matre yang cari mangsa! Yang nggak tahan hidup susah, dan pengen cari jalan pintas untuk keluar dari masalahnya dia! “
“Mandy bisa menjawab jujur, darimana dia dapatkan puluhan juta untuk membayar uang kuliah yang nunggak, tas dan jam tangan Guess-nya, juga semua keperluan tugas akhirnya. Jawab Ndy, jujur dong..” ujar Virni penuh tekanan. Terdengar semakin percaya diri. “Mandy juga mungkin bisa menjelaskan biaya perawatan kanker adiknya yang mahal luar biasa dan semua ditanggung bokap gue.”
“Gue nggak masalah bokap gue bersedekah ya. Tapi cukup lah, Mandy juga mestinya tahu diri. Bukannya malah ngebet minta dinikahi segera, meneror tante-tante gue untuk mendapatkan restu mereka.Pasang-pasang foto dan status terkait soal bokap di Facebook. Itu mengganggu banget. Padahal semua keluarga gue juga bisa melihat. Nggak ada soal cinta! Gue tahu bokap kesepian, dan gue nggak ada masalah dia nikah lagi setelah sekian lama nyokap meninggal! Tapi dia PANTAS dapat yang lebih baik! Yang selevel sama dia dari segi apapun. Status, pendidikan, kekayaan, usia! Semoga lo semua mengerti duduk persoalan yang sebenarnya.. ” Virni menjelaskan berapi-api, dengan keyakinan seorang pemenang.
Sandra mengiriskan telunjuk ke lehernya. Benny langsung tanggap.
“Kayaknya Virni sudah menyampaikan maksudnya dengan jelas. Ok, Virni, terimakasih banyak atas sharingnya malam ini. Selamat malam,” Benny menggeser volume mikrofon yang terhubung dengan telepon Virni sampai ke level minimal.
Susan sigap menyambung, “OK, Mandy. Kami di sini turut sedih pembicaraan dengan Virni nggak berjalan sesuai keinginan lo.. Sorry banget. Terakhir, masih ada yang mau lo sampaikan?”
Terdengar isakan Mandy di udara.
“Yah, gue nggak tahu lagi mesti ngomong apa. Gue cuma mau lo tahu Vir. Gue mungkin orang miskin, tapi gue punya harga diri,” suara Mandy bergetar menahan tangis. “Semua berlangsung alamiah aja. Lo boleh tanya langsung ama bokap lo! Kalau aja lo nggak segitu egoisnya, lo bakal ngerti, bahwa cinta itu nggak terbatas soal umur, materi atau apapun..”
“Ok Mandy, terimakasih banget sharingnya malam ini di Dare to be Honest. Semoga segera ada jalan keluar untuk masalah kamu. Waduh San, sedih banget ya kalau kita denger pertengkaran kayak tadi?”
“Iya bener banget Ben. Virni, Mandy, kami di sini betul-betul prihatin sama masalah kalian. Bener lo, kami nggak berpihak ke siapapun. Kami cuma pengen bantu fasilitasi supaya kalian nemuin jalan keluar terbaik.”
“Dan Paramuda Jakarta, gimana pendapat kamu soal masalah Mandy dan Virni tadi? Silakan aja kamu bisa langsung twit, BBM, SMS. Atau bisa juga telepon untuk ngobrol on air.Tapi setelah jeda berikut ini ya. We’ll be right back!” ujar Benny bersemangat.
Benny meletakkan headphone-nya. “Cihuy! Gile mention yang masuk aja udah ratusan, padahal acara baru separuh jalan! Belum puluhan SMS yang masuk. Buset! “ Ia menyodorkan tangan mengajak Susan tos.
Susan menyambut sambil tertawa riang. “Gile ya Cyin tadi! Seru banget! Gue deg-degan Cyiinn ….” Pipinya yang chubby bersemburat merah. “Mbak Sandra.. tob banget nih acara kita malam ini..”
Sandra tersenyum mencetakkan lesung di kedua pipinya. Ia menyelesaikan proses menggelung rambutnya yang berombak sebelum mengacungkan jempol kepada Susan dan Benny.
Acara setelah lagu dan pesan sponsor yang berderet-deret akan memberikan ruang kepada pendengarnya untuk eksis menyuarakan pendapat terhadap kasus Mandy dan Bara. Sandra mengangkat dua jari mendekati mulutnya, memberikan isyarat hendak pamit merokok kepada dua penyiar andalannya. Benny dan Susan bisa melanjutkan show malam itu tanpa memerlukan dirinya. Sedangkan Sandra butuh beristirahat dari kepenatan sejenak.
Benny mengangkat jempol. Sudah hapal kebiasaan Sandra.
Pintu besi itu mengeluarkan suara derit yang memekakkan telinga saat Sandra mendorongnya. Ia lalu duduk di tepi balkon, menatap lampu-lampu kota dari ketinggian roof top lantai 17 gedung kantornya. Sandra menyalakan rokoknya dan menghirup dalam-dalam, seperti menghela udara. Masih terngiang-ngiang di telinganya, perdebatan antara Virni dan Mandy yang baru saja berlangsung. Dapat dipastikan, inilah salah satu edisi Dare to be Honest paling berhasil. Ia yang menggagas acara ini yang segera saja naik daun. Sejauh ini banyak orang telah memanfaatkannya. Melamar kekasihnya secara on air, menghubungi kembali mantan pacar untuk mengungkapkan ganjalan, ajang proklamasi bahwa dirinya adalah homoseksual, dan masih banyak lagi.
Mencengangkan bagi Sandra, betapa banyak orang butuh media publik sebagai jalan berkomunikasi interpersonal.
Sandra memandang langit hitam sambil mengembuskan asap rokoknya. Aku berani bertaruh, hubungan Mandy dan Bara tak akan bertahan lama, pikirnya. Mandy si Ratu Drama yang mengira ia sedang berjuang untuk cintanya.
Mau tak mau pikiran Sandra memvisualisasikan sosok perempuan berambut bob dan pria berusia 50-an dengan rambut keperakan, dengan otot dada yang bidang, dan senyum yang membuat jantung berdebar.
Gambaran itu memanggil memori akan aroma parfum Bvlgary Bara yang sangat disukainya, menyeretnya kepada kenangan dua tahun lalu.
Bara mengecup dahinya dengan lembut. Lalu mengusap air mata di pipinya.
“Jangan menangis, Cantik.. Tersenyumlah biar terbit sabit itu di pipimu..” ujarnya.
Sandra tersenyum, tak pernah bisa menolak bila Bara yang meminta. Tapi tangisnya tak mereda dan air mata terus meleleh pada lesung pipinya. Pemandangan yang kontras.
Bara memandangnya dengan tatapan penuh pengertian, sorot mata yang selalu melelehkan jantungnya, sebelum merengkuh tubuh Sandra dalam pelukannya. Sandra menghirup aroma parfum itu, memadatkan rongga paru-parunya, mencoba merekam setiap saat terakhir bersama Bara.
Satu tahun hubungan mereka tersimpan dengan rapi. Sandra sudah mendengar banyak tentang Virni dan anak-anak Bara, tapi tidak sebaliknya. Keputusan berpisah datang dari Sandra, karena orangtuanya sulit menerima rentang usia mereka yang sangat jauh. Bara setua ayahnya sendiri.
Melawan keluarganya sendiri, Sandra masih berani. Tapi mencintai Bara sama seperti hendak menggenggam bara api. Kau terpikat pada hangatnya, tapi tak bisa lebih dekat. Dan hanya butuh waktu hingga kau akan terbakar tanpa sadar. Bara lelaki yang amat sangat menarik, mudah jatuh cinta dan dijatuhcintai oleh para perempuan muda. Perempuan muda yang mengelilinginya seperti laron yang sulit menjauh dari cahaya. Sosoknya yang percaya diri, dewasa, dan tahu persis cara memperlakukan wanita terlalu sulit dinafikan. Dan Bara selalu butuh banyak wanita muda untuk membahagiakan dirinya, wanita-wanita muda yang merasa dirinya istimewa, sampai mereka tahu mereka bukan satu-satunya. Mandy mungkin menginisiasi drama tadi, berharap bisa memenangi Bara. Entahlah, mungkin dia perempuan muda pertama yang berani mengajukan diri ke hadapan keluarga besar Bara. Hingga mau tak mau menyingkap kenyataan yang selama ini selalu disangkal anak-anak Bara yang sulit menerima jiwa merdeka ayah mereka.
Sekian lama Sandra terombang ambing antara rasa cemburu, sekaligus terjerat dengan pesona Bara yang melenakannya. Hingga akhirnya, ia mengambil keputusan drastis untuk berhenti berhubungan sama sekali dengan Bara.
Berhenti berhubungan dengan Bara bagi Sandra sama sulitnya dengan pengguna narkoba yang merehabilitasi diri. Bara adalah candu. Namun kini dua tahun sudah berlalu. Hingga Sandra kembali bersentuhan dengan nama Bara, malam ini.
Air mata menetes perlahan, turun di bukit pipinya yang sepi sabit.
“Hey,” Benny tiba-tiba sudah berdiri di sampingnya. Siarannya ternyata sudah usai.
Sandra menoleh, tak merasa perlu mengusap air matanya. Dirasakannya tangan Benny merengkuh bahunya. Sandra menyenderkan kepalanya di pundak Benny.
“Thanks Ben, that was a great show..”
Benny mengacak rambut Sandra dengan sayang. “Kamu yang hebat, menjalankan acara malam ini dengan cool, seperti Bara bukan siapa-siapa..”
Sandra hanya diam, merapatkan tubuhnya kepada Benny, sahabat yang banyak membantunya mengatasi dua tahun terakhir ini.
Sandra meraba dadanya, mencoba menjangkau rasa nyeri yang tersimpan di suatu tempat yang entah di mana. Nyeri yang berjingkat perlahan, lalu beranjak pergi.
Meninggalkan sisa bara.
Recent Comments